Pages

Showing posts with label Syariat. Show all posts
Showing posts with label Syariat. Show all posts

KONFLIK SOSIAL – BUDAYA DAN PENGUATAN AQIDAH

Pengantar
“Dan berpegang teguhlah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni’mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni’mat Allah bersaudara, dan kamu telah berada ditepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk” (QS.Ali Imran:103)

Kehidupan manusia dibelahan bumi manapun tidak akan pernah terlepas dari berbagai persoalan yang terus muncul dalam kehidupannya sehari-hari, yang secara tidak langsung juga akan menimbulkan pertentangan diantara satu dengan yang lain. Yang kadang kala pertentangan itu memunculkan konflik sesama. Karena hal ini sudah menjadi fitrah manusia dimana Tuhan selain menjadikan manusia sebagai khalifah dimuka bumi, manusia juga diberi potensi diri untuk memunculkan konflik, baik konflik dalam diri sendiri, konflik sesama manusia, konflik dangan alam serta kadang kala manusia juga membangun konflik dengan Tuhannya.

Konflik sosial-budaya
Persoalan yang paling besar dihadapi oleh umat Islam saat ini adalah kehilangan identitas keislamannya dalam segala aspek kehidupan, baik dalam persoalan kenegaraan maupun dalam rumah tangga, dalam bidang politik, ekonomi sampai sosial budaya, tidak terlepas dari pengaruh nilai-nilai modernisasi yang muncul dari dunia sekuler. 

Nilai-nilai agama (spiritualitas Islam) yang diterapkan dalam realitas sehari-hari hanya untuk memenuhi kewajibannya selaku hamba kepada Tuhan (ritualitas ibadah mahzhah), padahal Allah berfirman bahwa Dia tidak akan mengalami kekurangan sedikitpun walaupun tidak ada satupun manusia yang menyembah-Nya. Artinya bahwa hakikat semua ajaran Islam (syari’at) yang telah diturunkan oleh Allah melalui Rasul Muhammad saw, adalah untuk mengatur tata kehidupan manusia sebagai khalifah dibumi, dan semua aturan itu adalah untuk kemashlahatan manusia disamping juga mendapat balasan pahala dihari yang kekal (akhirat). Namun dalam realitas sekarang setiap prilaku. Sikap dan keputusan terhadap kepentingan keumatan sering tidak mencerminkan nilai-nilai syari’at.

Dalam konteks keacehan, setelah mengalami konflik kemanusiaan selama puluhan tahun yang kemudian berakhir dengan bencana mahadasyat gempa dan gelombang tsunami yang menelan korban ratusan ribu jiwa, konflik sesama anak manusia berakhir dengan perdamaian. Namun Aceh harus kembali bangkit dari nol dalam membangun daerah dan juga masyarakat yang telah porak poranda dalam waktu 15 menit. 

Sebuah tantangan dan fenomena baru kembali muncul dalam kehidupan rakyat Aceh setelah lebih setahun dari bencana tsunami, yaitu “konflik” sosial-budaya.
Setelah berbagai belahan dunia datang membantu proses rekontruksi dan rehabilitasi Aceh, secara tidak langsung Aceh telah menjadi daerah yang paling terbuka dengan dunia global, aceh menjadi daerah yang datangnya dollar dari delapan arah mata angin, begitu juga persentuhan budaya sama sekali tidak dapat dihindari, hal ini sangat berpengaruh pada pola pikir masyarakat Aceh dan Indonesia pada umumnya. namun disisi lain berbagai persoalan juga muncul dimasyarakat tingkat bawah, kecemburuan sosial menjadi faktor yang sangat riskan yang dapat memunculkan konflik baru, ketika ada sebagian orang mendapat bantuan banyak rumah, namun yang lain tidak mendapatkan sama sekali, begitu juga ketika ada beberapa pihak yang mengelola bantuan akan tetapi tidak sampai kepada yang berhak, ketika ada daerah yang mendapat bantuan secara berkala dari berbagai NGO dan pemerintah namun ada daerah yang tidak pernah tersentuh samasekali, ada juga fenomena dimana masyarakat yang tidak pernah merasa puas terhadap bantuan yang diberikan sementara saudaranya belum mendapatkan apa-apa. hal ini menjadi “benih-benih” yang akan memunculkan konflik baru dalam masyarakat, maka sudah seharusnya para penguasa yang mempunyai amanah untuk berbuat lebih bijak dan adil , “Dan berbuat adillah kamu karena adil lebih dekat kepada taqwa”(QS.Al-Maidah:8).

Pergeseran pola prilaku dan budaya setelah lebih setahun tsunami semakin jauh dari nilai-nilai syari’at, fenomena kehidupan malam diperkotaan menjadi tontonan yang sangat menyedihkan, pasangan muda mudi (non muhrim) berpelukan diatas motor(kereta) dengan busana yang super ketat, tanpa jilbab, atau berjilbab namun tampak pantat, disepanjang pantai, setiap hari libur kita menyaksikan perbuatan maksiat (berpelukan yang bukan muhrim) kembali tumbuh bagai jamur dimusim hujan, begitu juga ditrotoar sepanjang jalanan, saat azan magrib memanggil anak manusia untuk menyembah Tuhan, namun begitu tenang tertawa dan duduk mesra dengan pacarnya atau bersama “gerombolannya’ tanpa peduli suara azan, dibarak-barak pengungsian, kita bisa menghitung berapa orang yang selalu melaksanakan shalat secara berjamaah, berapa banyak orang yang hadir ketika ada relawan yang memberi ceramah agama, atau nasehat spiritual, berapa banyak orang tua yang peduli terdapat pengajian anaknya selepas magrib sebagaimana budaya bangsa Aceh sejak zaman dahulu, hanya beberapa orang saja. Sungguh sangat menyedihkan, ini hanyalah contoh sebahagian kecil pergeseran budaya yang tampak sehari-hari kita saksikan, belum lagi perbuatan kemaksiatan dan pergeseran nilai-nilai aqidah yang tidak nampak, praktek kolusi dalam mendapatkan sebuah proyek, sogok menyogok dalam perekrutan pegawai, baik sipil, kepolisian ataupun militer, yang semuanya merupakan larangan agama, namun terkadang sudah membudaya, maka tidak heran bencana kemanusiaan akan terus lahir oleh perbuatan manusia itu sendiri. Padahal bencana tsunami meninggalkan pesan dan hikmat yang sangat besar kepada manusia untuk kembali. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman “Telah nampak kerusakan didarat dan dilaut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah memperlihatkan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali kejalan yang benar”.(QS.Ar-Rumm:41).

Kembali Ke Aqidah
Merenungi hikmah dibalik hijah Rasul ke Madinah, yaitu disaat Rasul bersama sahabat menyelamatkan ajaran Islam dari ancaman kaum Jahiliyah yang ingin membunuhnya dan memusnahkan ajaran Islam, dan ini tidak terlepas dari konflik sosial, politik, budaya dan agama antara Nabi saw dan pengikutnya dengan kaum Jahiliyah, maka dengan analisis SWOT melalui perintah Allah Nabi melakukan hijrah untuk menyelamatkan agama (kenyakinan) serta mengumpulkan kembali kekuatan.Kita dapat merenungi bahwa betapa beratnya perjuangan rasul untuk menyelamatkan aqidah Islam, ketika mereka harus meninggalkan tanah kelahiran dan leluhurnya berangkat ke Madinah dengan meninggalkan harta benda, bahkan juga istri dan anak tercinta, namun dengan kenyakinan kepada Allah ketika Rasulullah sampai di Madinah betapa besarnya sambutan kaum anshar terhadap Rasul dan kaum muhajirin. kaum anshar menjadi saudara yang bersatu padu membantu menegakkan aqidah Islam dengan cinta dan kasih sayang. Persaudaraan dalam aqidah Islam membawa perdamaian yang abadi dinegeri madani setelah keluar dari negeri yang penuh konflik negeri Mekkah.
Aceh pada dasarnya adalah daerah yang baru saja keluar dari berbagai konflik yang berkepanjangan, yang telah menoreh luka yang sangat dalam dan meninggalkan ribuan anak-anak yatim dan janda, yang kemudian Allah akhiri dengan bencana tsunami sehingga mengetuk hati para penguasa yang melahirkan konflik itu untuk berdamai, damai karena tetesan air mata yang sudah kering, tetesan darah yang sudah mematikan rumput-rumput dan menghancurkan rumah, ladang dan persawahan. Damai yang lahir dari ratusan ribu nyawa manusia, rakyat Aceh tercinta. Sehingga lahirlah simpati dan empaty dunia, seluruh bangsa di dunia datang membantu Aceh untuk kembali bangkit, bangkit dari kehancuran material dan mental. Bangsa dunia yang membantu Aceh menjadi saudara tanpa batas negara, suku dan bangsa. Maka sangat menyedihkan ketika rahmat yang datang dari berbagai pejuru dunia, namun secara moral dan spiritual mengalami kehancuran, kesadaran agama sudah luntur, persaudaraan dan tolong menolong dalam kebaikan sudah sulit kita temukan, dan mungkin ini akan muncul konflik baru di Aceh yaitu konflik sosial dan budaya, ketika berbagai pola sikap tingkah laku mengalami distorsi nilai, maka sudah seharusnya bangsa Aceh kembali kedasar kenyakinan, aqidah Islam, yang harus diaktualisasi (diterapkan) dalam setiap aspek kehidupan, sebagaimana halnya Rasulullah menetapkan nilai-nilai Islam di negeri Madinah. Sehingga persaudaraan dalam akidah Islam akan menjadi cahaya baru dalam perdamaian di Aceh selamanya. “Jikalau sekiranya penduduk negeri beriman dan bertaqwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”. (QS.Al-A’raf: 96). Wallahu’alambhishawab.

SYARI’AH VERSUS BORJUIS

Persoalan dan perdebatan masalah syari’at Islam yang diimplementasikan di Aceh dalam bingkai NKRI menjadi kajian yang sangat menarik, hal ini tidak hanya dalam kontek keacehan tapi juga dalam kontek nasional maupun international. Betapa tidak, sejak di launching secara resmi oleh pemerintah RI melalui UU No.44 tahun 1999, diskursus masalah syari’at Islam menjadi kajian hangat, baik di warung kopi maupun pada tingkatan akademisi sampai seminar ditingkat International. Dalam kontek keacehan, mungkin semua orang Aceh sepakat dan tidak ada yang menolak penerapan syari’at di bumi Serambi Mekkah ini. Namun kemudian, yang menjadi persoalan adalah apakah esensi, tujuan dan nilai dasar dari syari’at Islam itu sendiri telah teraktualisasikan di Aceh dengan baik atau tidak? Sudah memenuhi hak-hak dasar dari tuntutan shari’at? atau hanya berlaku bagi kemaksiatan yang bersifat “individual” dan tidak mampu menyentuh kejahatan/kedhaliman dalam bentuk kekuasaan? Ini menarik kita kaji karena fenomena yang kita lihat selama ini adalah wilayah syari’at yang sering menjadi headline berita-berita koran lokal maupun nasional yang umumnya “terpenjara” dalam wilayah privacy saja, seperti persoalan jilbab, khalwat, mesum, khamar dan judi. Namun persoalan besar tentang ketidakadilan yang dialami oleh rakyat Aceh yang seharusnya merupakan dasar dari esensi dan tujuan syari’at itu sendiri malah terabaikan oleh penguasa di Aceh dan pusat pun juga oleh “pemilik modal” dalam proses pembangunan Aceh kembali setelah bencana tsunami.
Dalam konsep tujuan syari’at Islam (maqashid syar’i), hal yang paling esensi yang harus diimplementasikan adalah persoalan keadilan dan kemashlahatan, dan kasus yang paling aktual kita lihat hari ini adalah ketidakadilan yang dialami oleh ahli waris korban tsunami di pantai barat selatan maupun juga dibagian timur utara, ketika mereka mengalami diskriminasi bantuan dana dari BRR, dimana BRR mengambil kebijakan mengeliminir bantuan dari 15 juta/kk menjadi 2,5 juta/kk, begitu juga hak-hak dasar rakyat lainnya masih terabaikan serta banyak fenomena lainnya yang pada prinsipnya sangat tidak sesuai alias pengingkaran terhadap nilai-nilai shari’ah itu sendiri, karena pada dasarnya syari’at itu sendiri merupakan sebuah prinsip hukum yang melindungi nilai-nilai kemanusian dan keadilan.
Sayed Qutb dalam bukunya 'Qutb’s history;thought and discourse' (1983) menegaskan bahwa setiap orang (rakyat) mempunyai hak untuk makan, minum, pakaian, perumahan, juga perkawinan, karena ini merupakan kebutuhan dasar setiap manusia. Selain itu mereka juga mempunyai hak untuk perawatan kesehatan, pendidikan dan juga kerja. Ini semua adalah tujuan dari pada syari’ah (maqashid syar’i) yang kemudian diharapkan akan membentuk masyarakat madani (muslim society).
Nilai-nilai syari’at pada prinsipnya tidak hanya dilihat dari sisi legal formal saja tapi lebih jauh kepada sisi keadilan social (social justice) dan ini merupakan tujuan dan esensi dari shari’ah yang paling utama (maqashid syar’i). Sebagai sebuah contoh baru-baru ini adalah upaya yang telah dilakukan oleh rakyat yang menjadi korban dari bencana tsunami yang menuntut keadilan, tuntutan mereka juga sebenarnya adalah tuntutan dari nilai-nilai syari’at Islam, demontrasi yang dilakukan oleh rakyat karena mereka merasa didhalimi oleh sebuah ketidakadilan, namun kemudian tuntutan dan perjuangan mereka terkalahkan oleh kebijakan “egoistic” kaum pemilik/pemegang modal yang mempunyai kekuasaan lebih kuat yang oleh Karl Marx disebut sebagai kaum borjuis.
Dalam konsep akademisi sebagaimana ditulis oleh David (1983) mengenai pemikiran Rousseau tentang bourgeois, kaum borjuis adalah kaum yang cenderung mengutamakan egoismenya dan cenderung menjadikan kekuasaan untuk melayani kepentingannya saja. Lebih jauh, dari satu sisi kaum borjuis terkesan “bersahabat” dengan rakyat (kelas bahwa) tapi sisi lain mereka lebih mementingkan diri sendiri, kaum borjuis juga kurang punya rasa keadilan dan persatuan.
Meskipun persepsi ini terkesan tendensius kalau dikaitkan dengan lembaga BRR sebagai pemilik/pemegang modal pembagunan Aceh paska tusnami, namun dalam pandangan masyarakat awam yang pernah “bermabit” didepan pagar gedung BRR-hal ini sejalan dan berbanding lurus dengan apa yang digambarkan oleh Rousseau, bahwa penguasa dan lembaga pemilik/pemegang modal ini sangat egois dalam kebijakannya dan menabur ketidakadilan dalam masyarakat korban tsunami. Alasan bantuan rehab menjadi bantuan social karena tidak mencukupi anggaran sangatlah tidak releven dan tidak rasional, karena rakyat itulah yang menjadi korban tsunami, yang sudah seharusnya mereka mendapatkan hak yang sama. Namun disisi lain para korban melihat para penguasa ini menghabiskan milyaran dari anggaran ataupun bantuan “takziah” korban tsunami dari berbagai negara donor untuk rapat-rapat dihotel-hotel berbintang lima, melakukan “rihlah” ke manca negara, dan berbagai pelayanan “wah” lainnya yang dinikmati oleh kaum BRR. Inilah fenomena akhir-akhir ini yang terlihat dibumi serambi mekkah dimana suara rakyat kecil dan makhluk lemah yang datang mencari keadilan hanya dianggap bagai “anjing menggonggong dan kafilah berlalu” serta sudah tak terdegarkan lagi dan hilang diterpa isu yang lainnya, yaitu, pemilik modal “tertipu” oleh para kontraktor interlokal.
Islam dan Keadilan social
Keadilan adalah nilai yang paling fundamental dan tuntutan asasi dalam ajaran Islam, tidak hanya dalam lingkup keluarga namun lebih jauh dalam kontek kenegaraan, baik dari segi kebijakan politik, sosial dan ekonomi. Dalam persoalan keadilan sosial-politik, shari’at (Islam) dengan sangat tegas menentang setiap bentuk ketidakadilan, dan pengambilan keputusan penguasa di wilayah shari’at haruslah berlandaskan pada rasa keadilan dalam setiap sector dan masyarakat, pengambilan kebijakan bukanlah hanya untuk memelihara kepentingan penguasa seperti halnya kaum “machiavellian”, dimana Machiavelli percaya bahwa rakyat itu lemah, dan para politisi (pengambil kebijkan) itu kebanyakan pembohong, penipu, pengkhianat. Namun demikian, Machiavelli juga mengatakan bahwa para penguasa bergaya sopan dan berprilaku dengan sangat mulia, akan tetapi itu tidak menjamin bahwa mereka akan menghasilkan keputusan yang baik dan berkeadilan bagi masyarakat.
Namun dalam Islam keadilan social selalu melihat keseimbangan dan tidak ada pembagian kelas dalam social masyakarat, tidak ada kelas yang kuat atau rakyat sebagai kaum yang lemah. Hal ini sebagaimana dikisahkan dalam kitab Taamir ki Taraf, tentang sebuah keteladanan seorang penguasa dalam memberi rasa keadilan kepada rakyatnya terlihat pada saat khalifah Umar ibn Khattab (alfaruq) melakukan perjalanan ke tanah Palestine dari Madinah, beliau hanya mengunakan pakaian kumal dan ditemani oleh seorang pembantunya dan juga hanya dengan seekor unta, Umar al-faruq berkata kepada pembantunya; “Jika saya menaiki unta dan kamu berjalan kaki, maka itu tidak memberikan rasa keadilan bagimu, begitu juga jika kamu menaikinya dan saya berjalan kaki, maka itu juga tidak adil bagi saya, demikian juga jika kita berdua menaikinya, maka itu tidak akan adil bagi unta. Jadi, lebih baik jika ketiganya dari pada kita bergantian/bergiliran”, yaitu; saat Saiyina Umar menaiki unta, maka pembantunya berjalan begitu juga sebaliknya dan yang terakhir mereka melepaskan unta tanpa beban, sehingga ketiga-tiganya berjalan kaki.
Betapa agungnya keadilan dalam Islam, tidak hanya bagi sesama manusia tapi juga Islam memberikan rasa keadilan sekalipun bagi binatang, sebuah keteladanan yang sudah sangat langka kita dapatkan saat ini walaupun di Aceh yang mengklaim diri sebagai wilayah shari’at serambi mekkah. Fenomena tuntutan keadilan yang merupakan esensi dari shari’at Islam yang telah diperjuangkan dengan sekuat tenaga oleh para janda, anak-anak yatim, dan masyarakat lemah lainnya yang bahu-membahu telah mendatangi kantor pemilik/pemengang modal rekontruksi kembali Aceh, namun suara mereka tetap saja terkalahkan oleh keegoisan pengambil kebijakan yang diidentikkan oleh Karl Marx sebagai “kaum borjuis” yang telah menabur luka dihati para korban bencana, dan nilai-nilai shari’at tidak mampu menyentuh mereka, hanya kepada Tuhanlah kita kembali. Wallahu’alam. [published by Aceh Institute]

Menggapai Syari'at Kaffah?


Aceh province, salah satu provinsi yang mempunyai kewenangan khusus dalam penerapan Syari'at Islam dalam semua aspek (kaffah), hal ini berdasarkan UU No.44 Tahun 1999 tentang keistimewaan Aceh. yang kemudian proses pelaksanaanya akan diatur dalam qanun (peraturan pemerintah).


Secara legalitas dan yuridis, penerapan Syari'at Islam sejauh ini didasarkan pada 4 Qanun, yaitu: Qanun No.11 Tahun 2002 Tentang Syiar yang mencakup tentang tata busana Islam, Qanun No.12, 13, 14 Tahun 2003 tentang khamar (alkohol), maisir (judi) dan khalwat (bersepi-sepian yang bukan muhrim). Dalam qanun tersebut juga diatur tentang lembaga yang akan mengontrol penerapan Syariat Islam yaitu lembaga Wilaytul Hisbah (Polisi Syari'at).


Mengenai Qanun No.11 Tahun 2002 tentang pakaian Islami, tidak ada aturan batasan tentang busana islami, hanya catatan mengenai pakaian yang tidak menimbulkan syahwat dan tidak ketat atau membentuk lekuk tubuh. Semua hal ini lebih identik mengatur tentang pakaian kaum wanita. Hal ini kemudian menjadi sebuah dilema di masyarakat dalam tataran praktis, dimana dalam pelaksanaannya, kaum wanita kemudian menjadi objek penertiban pelaksanaan Qanun tersebut. Sementara kaum pria yang main bola dengan memakai celena di atas lutut tak pernah tersentuh oleh WH (Wiliyatul Hisbah).


Sementara dalam Qanun 12 mengenai khamar (alkohol), yang mengatur mengenai hukum haram meminum alkohol (khamar) di wilayah syari'at (Aceh). Ada beberapa kasus yang telah ditangkap dan dihukum dengan hukuman jilid (cambuk) di depan khalayak ramai, dan kebanyakan mereka adalah masyarakat "lemah" yang kedapatan sedang minum air khamar tersebut. Ada yang ditangkap oleh masyarakat kemudian diserahkan ke WH, diteruskan ke polisi dan dituntut oleh Jaksa serta diputuskan hukuman oleh Mahkamah Syari'ah.


Sementara itu, di sebuah hotel bintang "13" yang juga di Banda Aceh, juga terdapat sebuah BAR, yang menjual air arak baik buatan dalam negeri maupun dari luar negeri, dengan bebas menjual air khamar tersebut tanpa tersentuh "hukum syari'ah". Seorang WH senior mengatakan bahwa itu wilayah yang dilindungi oleh orang-orang "kuat" di Aceh, jadi WH tidak bisa masuk ke wilayah tersebut. Sementara salah satu pakar hukum dan sosiologi dari UNSYIAH mengatakan, bahwa penerapan Syariat Islam di Aceh tidak berlaku asas teroterial, melainkan asas personalitas. Jadi kalo yang minum arak itu non-muslim, qanun tidak berlaku bagi mereka.


Persoalan lain adalah mengenai Khalwat (bersepi-sepian dengan lawan jenis ditempat sunyi dan tertutup yang bukan muhrim). Pengaturan hal-hal seperti ini merupakan suatu nilai normatif yang sangat baik untuk mencengah terjadinya zina bagi masyarakat. Namun walaupun telah diberlakukan qanun ini, perbuatan bersepi-sepian terus terjadi, baik anak-anak muda, sampai nenek-kakek. Sehingga banyak dari mereka kemudian ditangkap oleh masyarakat; ada yang dihukum adat (bayar denda?), diarak keliling kampung, disiram air comberan, ada yang cuma dinasehati bahkan juga ada yang kena cambuk setelah di putuskan pengadilan (Mahkamah Syaria'ah). Kebanyakan mereka adalah juga masyarakat yang tidak punya "modal dan power".


Sementara itu, ada yang berpower dan punya modal, juga ditangkap oleh warga atau lembaga yang berwenang karena kedapatan berkhalwat, tapi perlahan isu dan penyelesaian kasus mereka hilang bagai diterpa angin. Dulu ada seorang Hakim di Kota Sabang di tangkap disebuah wisma bersama seorang wanita yang bukan muhrimnya, kasusnya hilang tak tersentuh hukum. di Banda Aceh, Mantan Pejabat teras Province, juga diduga telah berhubungan "khusus" dengan pembantunya, Kasusnya juga hilang secara perlahan. Sehingga berbagai asumsi berkembang di masyarakat bahwa penengakan Syari'at Islam di Aceh tidak dapat menyentuh orang-orang ber'power". Teori hukum tajam hanya ke bawah.


Perlu Pembenahan
Melihat fenomena seperti ini, perlu dilakukan sebuah pembenahan dan komitmen seorang pemimpin yang concern (political will) terhadap pelaksanaan syariat Islam. Pembenahan terhadap legal qanun disatu sisi, dan pembenahan penegak hukum itu sendiri disisi lainnya.


Pembenahan terhadap yuridis yang diperlukan adalah penyempurnaan qanun-qanun Jinayat, seperti qanun tentang zina, pencurian, pembunuhan, and segala yang menyangkut kriminal lainnya. disamping juga diperlukan adanya sebuah UU / Hukum Acara dalam perkara jinayat Islam yang disahkan secara formal.


Pembenahan lainnya adalah lembaga penegak hukum. Selama ini WH hanya sebagai lembaga yang mengontrol, mengawasi tanpa ada wewenang untuk menyidik, dan atau menyelidik, maka dibutuhkan upaya untuk meningkatkan peran dan wewenang dari lembaga WH ini, idealnya lembaga WH menjadi sebuah lembaga independen sebagai lembaga penyidik dan penyelidik dalam penegakan hukum Syari'at Islam di Aceh. Namun ini menjadi sebuah tantangan bagi Aceh sebagai bagian dari negara Indonesia yang menerapkan sistem hukum "sekuler".