Pages

Showing posts with label Sosial Budaya. Show all posts
Showing posts with label Sosial Budaya. Show all posts

JOBLESS


Jobless, or less job, it was the same word, just differ of the position. But, both of them have the same meaning. Mereka adalah orang-orang yang tidak punya kerja, atau sdikit kerja. Meskipun makna kerja itu sangat general, tapi jobless disini adalah lakap bagi yang sedang menganggur. Mereka menjadi penganggur karena tidak ada yang dapat dikerjakan dan menghasilkan duit. Tpi jika mereka dapat menghasilkan "duit" meskipun dalam tidur, artinya mereka bukanlah jobless. Demikianlah salah satu pendapat yang dikatakan oleh Prof.Hanakrija.

Menjadi Jobless man, adalah sesuatu yang tidak sangat menyenangkan. apalagi jika sudah mempunyai sebuah tanggung jawab. Karena stigma yang muncul dari masyarakat bagi yang jobless seringkali kedengarannya tidak sangat enak. Apalagi jika si jobless sedikit malas untuk berusaha, atau harus memilah milih suatu pekerjaan yang punya "high quality' menurut pikirannya. Apalagi jika ia seorang sarjana atau bahkan sarjana master dari luar negeri, tapi hanya kerjanya tidur2an dirumah, karena tidak punya kerja.

Biasanya jangankan para tetangga yang "menggosip" tentang Joblessnya dia, orang tuanya pun barangkali akan jengkel dan malu jika anaknya tamatan luar negeri, tidak punya kerja.

Saya sendiri, sebenarnya tidak tau pasti kenapa hal itu dapat terjadi, kenapa kalau alumni luar negeri yang kapasitas pendidikannya "sering" lebih hebat dari disini, tapi ada juga alumninya gak punya kerja. [Yg pasti mereka kan tidak sangat layak jika menjadi pemulung sampah?], karena untuk jadi pemulung sampahkan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, benar tidak?

Sebuah acara talkshow di TV Metro, tepatnya di Kick Andi, saat itu menghadirkan beberapa anak bangsa yang telah sukses di Luar negeri, bahkan banyak diantara mereka adalah guru besar [Profesor] di Universitas terkemuka di dunia. Banyak sekali karya-karya yang telah mereka terbitkan. Di Denmark juga ada seorang anak Bangsa Indo ini sudah menjadi Program Manager disebuah perusahaan besar yang mempunyai puluhan staff dari berbagai negera.

Bung andi bertanya kepada mereka, "kenapa anda tidak pulang saja ke Indonesia, dan membangun bangsa ini dengan ilmu yang sudah anda miliki"?. "disini susah mas, lebih 10 perusahaan yang saya lamar, satupun mereka tidak menerima saya"!. jawaban sang manager yang telah sukses di Denmark tersebut.

Sementara seorang Profesor mengatakan, bahwa ia pernah pulang ke Indo, tapi disini tidak ada yang menghargai seberapapun ilmu dan karya yang mungkin telah kita hasilkan.. Biasanya kalau karya tersebut baru diributkan oleh pemerintah jika sudah dipatenkan oleh pihak asing.. jadi sama sajakan.. lebih baik kerja dengan asing, dan dapat penghargaan dari ilmu yang telah diberikannya... bahkan ada temannya alumni dari satu universitas dengannya ada yang hampir mati kelaparan karena tidak punya uang.. karena mereka jadi Jobless.

Biasnya di republik ini, untuk menjadi mengapdi ke negara, dan negara akan "menghargai" atas perbuatan mereka adalah harus menjadi PNS.. sehingga hampir 80%penduduk republik ini bercita-cita menjadi PNS.. "tp menjadi PNS saat ini, sulit bang! kabarnya pasarannya sekarang sampai 60 juta".. jadi dari pada menyongok, dan akhirnya jadi penghuni neraka.. lebih baik kelihatannya menjadi Jobless man sajalah..

CERITA GUBERNUR& RAKYAT


Nek Aisyah mungkin tidak pernah bermimpi dalam hidupnya, jika fotonya bersama seorang Gubernur Aceh saat ini terpampang dalam baliho besar di jalan protokol [Jl.Daud Bereueh], Banda Aceh, tepatnya di depan kantor Gubernur Aceh. Kita tidak tahu pasti apa sebenarnya maksud dari pemajangan foto itu, disaat kepemimpinan Irwandi sedang dikritik karena dianggap tidak ada perubahan dalam pembangunan di Aceh. Namun, foto nek Aisyah bersama Irwandi dan Istrinya itu mungkin sangat menarik perhatian masyarakat kota Banda Aceh, dibandingkan dengan foto artis Teuku Wisnu, pemeran utama Cinta Fitri di persimpangan Jam Taman Sari. Nek Aisyah saat ini seakan telah menjadi sebuah icon betapa merakyatnya seorang Irwandi Yusuf sebagai seorang pemimpin[?].
Kisah itu, bermula diakhir September 2007, saat Irwandi dan Istrinya serta seorang jurnalis ingin melihat kehidupan rakyatnya dengan menyamar sebagai seorang musafir dan minta sesuap nasi untuk sahuran di bulan puasa. Meski awalnya Nek Aisyah menolak, tapi akhirnya mereka diizinkan untuk masuk dan sahuran bersama. Penyamaran ini terbongkar ketika salah satu keponakan nek Aisyah, yaitu Dahlan mengenal bahwa tamu misterius dipagi buta itu adalah seorang Irwandi Yusuf, yang tidak lain adalah seorang Gubernur Aceh. Diakhir penyamaran itu, saat pamitan sang Gubernur memberitakan “Amplop” kepada Nek Aisyah atas kebaikannya disubuh itu.
Kisah ini, terkadang mengingatkan penulis pada sebuah drama realita “minta tolong” pada salah satu televisi swasta, dimana pada akhirnya orang yang mau menolong itu akan diberikan “amplop” oleh tim misterius tersebut. Biasanya yang punya “ketulusan menolong” itu adalah orang-orang yang juga sama menderitanya dengan yang “pura-pura” meminta tolong.
Kisah Umar Ibn Khattab
Sedikit berbeda dengan kisah Irwandi atau tim “minta tolong” dalam drama realita RCTI. Khalifah Umar RA, juga sering melakukan gerilya ditengah malam ke pelosok-pelosok kampung untuk mengetahui keadaan rakyatnya. Suatu malam beliau mendengar suara tangisan anak kecil yang sangat memilukan. Ketika khalifah Umar ibn Khattab mendekati gubuk tersebut beliau mendapati ada seorang ibu janda yang sedang merebus sesuatu di dalam sebuah tungku, sedangkan disisinya terbaring seorang anak kecil yang menangis tersedu-sedu karena kelaparan.
Khalifah Umar ibn Khattab menanyakan kepada si ibu perihal anaknya yang terus menangis tersebut, lalu si ibu menjawab bahwa si anak menangis karena kelaparan, sedangkan si ibu sengaja merebus batu untuk menenangkan hati anaknya. Lalu sang ibu berucap bahwa seharusnya amirul mukminin Umar memperhatikan nasib rakyatnya.
Setelah mendengar ucapan tersebut, Saidina Umar terenyuh hatinya karena ada rakyatnya yang masih kelaparan dikarenakan oleh kelalaiannya dalam memimpin. Singkat cerita, khalifah Umar kembali ke rumahnya dan mengambil gandum serta makanan yang lain dari baitul maal, kemudian memikulnya sendiri ke rumah si ibu tadi. Pembantu beliau Aslam meminta supaya dia saja yang membawa barang-barang tersebut, tetapi khalifah Umar bersikeras bahwa beliau akan membawanya sendiri seraya berkata, “apakah engkau sanggup memikul bebanku di hari akhir nanti?” Sesampainya di gubuk tadi, khalifah Umar langsung menyerahkan semua barang yang beliau bawa ke si ibu paruh baya tersebut.
Dalam kisah tersebut, Umar RA tidak pernah meminta sesuatupun dari si Ibu, karena memang ia tidak mempunyai apapun, dan Umar RA juga tidak memberikan ‘amplop” kepada keluarga malang itu, kerena mungkin amplop belum ada ketika itu [?]. Tapi Umar menyadari betul bahwa ia harus segera memenuhi kebutuhan rakyatnya dengan memikul kebutuhan rakyatnya itu di atas bahunya sendiri.
Kebutuhan Rakyat
Nek Aisyah memang tidak harus merebus batu untuk melalaikan keponakannya, karena memang ia masih punya ikan asin, dan beberapa potong sie ruboh yang disimpannya untuk beberapa hari puasa ke depan. Namun kehidupan nek Aisyah sebagai bagian dari potret rakyat Aceh yang baru pulih dari konflik dan bencana Tsunami, yang masih banyak hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka mungkin tidak meminta mobil X-Trail dari dana pembangunan Aceh 2009 yang kabarnya mencapai 9.7 Triliun, tapi yang mereka butuhkan hanyalah sebuah kehidupan yang layak. Meskipun sebuah kelayakan itu sangatlah relative, tapi minimal tidak ada lagi kata-kata bahwa orang miskin dilarang sakit. Rumah sakit harus secara adil tersenyum baik kepada mereka yang kaya atau yang “dimiskinkan”.
Rakyat juga butuh pendidikan yang murah atau seharusnya gratis. Pendidikan yang gratis tidak hanya sampai SD tapi juga sampai PT. Karena ijazah SD saat ini tidak lagi laku untuk melamar sebuah pekerjaan. Bagaimana mendapatkan pekerjaan yang layak jika kesempatan untuk belajar menjadi mahal. Bagaimana mencerdaskan bangsa jika setiap tahun biaya SPP terus naik. Jika rakyat bodoh, maka sebuah pekerjaan yang layak sangat sulit didapat, akibatnya jika pekerjaan sulit didapat maka kemiskinan juga sulit dihilangkan. Meskipun kabarnya alokasi dana dari APBA mencapai 30 persen dari total dana tersebut untuk sector pendidikan. Tapi kenyataannya pendidikan di Aceh tidak ada perubahan yang signifikan. Bahkan tahun lalu kabarnya ada sekolah yang hampir 100 persen siswanya tidak lulus ujian nasional. Ironisnya lagi ada beberapa tanah masyarakat miskin “dikuasai” oleh lembaga-lembaga pendidikan tanpa adanya pembebasan yang layak. Sehingga mereka harus memblokir sekolah-sekolah itu. Sekali lagi rakyat bertanya, kemana dana pendidikan itu?.
Stigma kemiskinan, biasanya juga selalu dikaitkan dengan masyarakat petani dan nelayan. Para petani dan nelayan di negeri ini jarang menjadi kaya, Kenapa?itulah pertanyaan selanjutnya. Apakah mereka malas dan tidak mau bekerja, sehingga menjadi miskin?. Rasanya tidak ada petani dan nelayan yang malas dalam pekerjaannya. Tapi kenapa di Inggris dan Amerika misalnya, para petani atau nelayan itu adalah mereka orang-orang berkecukupan, kalau tidak dikatakan kaya?. Inilah yang selalu menjadi pertanyaan yang tidak pernah diselesaikan oleh era pemimpin manapun di negeri ini.
Jawaban itu biasanya dijawab sendiri oleh para petani dan nelayan, “tulak tong tinggai tem”. Itulah yang terjadi dari masa ke masa. Karena biaya operasional lebih besar dari yang dihasilkan. Dan pemerintah juga tidak mampu memberikan harga pupuk yang wajar atau membiarkan tanah-tanah yang kering tanpa ada pengairan. Begitu juga disaat panen, petani tidak punya “kemampuan” untuk menentukan harga dari produk yang mereka hasilkan. Meskipun mereka punya barang tapi harga “toke medan” yang menentukan. Sehingga, dari tahun ke tahun kehidupan rakyat tidak akan pernah berubah dalam kemiskinannya.
Disinilah, rakyat berharap, dibawah kepemimpinan seorang Drh.Irwandi Yusuf,MSc, yang telah lama hidup bersama rakyat “pinggiran” dan mempunyai pengalaman di negeri Paman Sam, dapat mewujudkan sebuah perubahan menuju kearah yang lebih makmur dan sejahtera. Rasanya, inilah yang harus dipikul oleh sang penguasa kepada rakyatnya, bukan hanya sekedar memberikan amplop belaka atau dengan demo massa, karena itu tidak akan merubah nasib mereka. Tapi melalui program yang nyatalah yang akan merubah kearah yang lebih baik.
Diakhir tulisan ini, penulis ingin mengisahkan keteladanan seorang Khalifah Umar Ibn Aziz, Konon semasa ia menjabat sebagai Khalifah, walaupun hanya 2,5 tahun tak satu pun mahluk dinegerinya menderita kelaparan. Tak ada serigala mencuri ternak penduduk kota, tak ada pengemis di sudut-sudut kota, tak ada penerima zakat karena setiap orang mampu membayar zakat. Lebih mengagumkan lagi, penjara tak ada penghuninya. Sejak di angkat menjadi Khalifah Umar bertekad, dalam hatinya ia berjanji tidak akan mengecewakan amanah yang di embannya. Akhirnya dia berhasil mengelola negara dan memanifestasikan hadits Nabi SAW, “Seorang imam (khalifah) adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat), dan dia akan diminta pertanggungjawabannya terhadap rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Wallahu’alam.

KEMISKINAN STRUKTURAL

Berita yang dirilis oleh berbagai media di Aceh mengenai rendahnya daya serap anggaran pembangunan di Aceh pada tahun 2009 membuat kita sebagai masyarakat awam sulit percaya, terutama kepada para pemimpin Aceh yang telah terpilih secara demokratis dimasa yang sudah damai. Betapa tidak hampir diakhir tahun 2009, daya serap APBA sebesar 9,7 triliun baru dapat dihabiskan masih dibawah 50% dari total anggaran yang tersedia. Sementara disisi lain, berbagai berita miris mengenai persentase rakyat miskin terus meningkat, jalan berlobang dan berlumpur juga terus bertambah, anak-anak sekolah di daerah terpencil masih harus menyebrangi sungai dengan kabel baja karena tanpa ada jembatan, belum lagi pelayanan air bersih dan listrik yang terus mati, rakyat juga masih sulit mendapatkan akses pelayanan kesehatan, pendidikan dan pekerjaan yang layak, sehingga pengangguran terus bertambah.

Kondisi seperti ini menyebabkan rakyat sulit melepaskan dirinya dari kemiskinan, karena sulitnya kesempatan serta lemahnya kemampuan dan komitmen penguasa dalam meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Kemiskinan itu terjadi tidak hanya karena ketidakmampuannya tapi juga kesempatan untuk merubah kehidupannya kearah yang lebih baik juga sangat sulit, karena ketidakmampuan pemerintah dalam membuka peluang kerja bagi mereka. Seperti diungkapkan oleh Joel Hellman, dalam laporan yang dirilis oleh World Bank mengenai pembangunan di Aceh, bahwa “sumber-sumber dana untuk pembangunan sudah sangat cukup untuk mengangkat mayoritas penduduk Aceh dari kemiskinan jika hal tersebut dibelanjakan dengan bijaksana.”

Harus diakui bahwa ketidakmampuan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan bagi masyarakat bukan karena disebabkan oleh kekurangan sumber dana untuk pembangunan, karena dana untuk memenuhi kebutuhan rakyat itu berlimpah dibandingkan pada masa-masa sebelumnya. Namun ketidakmampuan pada sumber daya manusia yang mengelolanya yang mengakibatkan kemiskinan terus menerus dialami oleh rakyat. Seperti yang pernah ditulis oleh peraih hadiah Nobel ekonomi dari India, Amartya Sen (Development as Freedom, 1996), “kelaparan dan kemiskinan di negara berkembang terjadi bukan karena tidak tersedianya bahan makanan, tetapi karena masyarakat tidak memiliki kebebasan dalam memperoleh akses itu”. Akibatnya, masyarakat kemudian terjebak pada "ketidakberuntungan ganda" (coupling disadvantage) antara kemiskinan dan hilangnya hak-hak sosial, politik dan ekonomi mereka.

Kebebasan memperoleh akses pada terciptanya kesejahteraan bagi masyarakat sebenarnya juga bisa terwujud melalui kerangka demokrasi yang sehat. Sebab, hanya dengan demokrasi yang sehat yang bisa membuka akuntabilitas bagi pelaksanaan sebuah pembangunan. Akan tetapi, hal itu hanya menjadi ironi belaka ketika diletakkan pada konteks Aceh pada khususnya dan Indonesia umumnya. Demokrasi di Indonesia hanya sampai pada tataran prosedural, belum menyentuh substansi demokrasi. Artinya, secara substansi, seharusnya lembaga-lembaga pemerintah yang berhubungan langsung dengan masalah pembangunan dalam rangka mengurasi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, dengan berbagai pembangunan dalam segala sektor, menyeluruh dan berjangka panjang, bukan justru sebaliknya.

Bencana Pembangunan
Jika konsep sebuah konsep pembangunan dilakukan tidak menyeluruh, atau pembangunan setengah jadi, maka yang terjadi bukanlah memberikan mamfaat bagi rakyat, namun yang terjadi adalah mudharat. Hal ini seperti terjadi dalam berbagai pembangunan yang akhirnya terbengkalai karena ditinggalkan oleh pekerjanya. Jika suatu proyek harus dihentikan karena alasan sistem dan procedural anggaran, maka yang terjadi adalah bencana. Sebuah contoh kecil saja, pembangunan jalan yang sedang dikerjakan, kemudian harus dihentikan, maka akibatnya kemudian adalah yang ada hanya tumpukan pasir, batu dan tanah gunung yang terbengkalai diruas jalan yang ditinggalkan sebelum diselesaikan, kerena proyek yang sedang dikerjakan itu harus dihentikan karena matinya anggaran. Hal ini seperti diungkapkan oleh Husni Bahri TOP seperti di rilis oleh Serambi Indonesia 13 November 09 mengatakan, “selain proyek multi years, untuk tahun 2009 tidak ada proyek yang dilanjutkan jika tak selesai pada akhir tahun”. Kondisi seperti ini, pastinya membuat tumpukan tanah itu menjadi lumpur dimusim hujan, dan menjadi gumpalan debu dimusim kemarau.

Konsep pembangunan seperti ini kelihatannya tidak bedanya dengan konsep perang gerilya, yaitu suatu konsep yang sasarannya “dilakukan” tanpa arah, tidak penting sempurna atau tidak, yang penting adalah adanya serangan dengan cepat dan meninggalkan akibat, baik akibatnya kecil atau besar. Konsep ini kemudian dikenal dengan konsep “hit and run”, yaitu menyerang dan lari. Kena sasaran atau tidak, menjadi tidak penting dalam sistem perang ini

Begitulah jika konsep pembangunan dilakukan dengan mengunakan konsep gerilya. Tidak penting apakah sebuah proyek itu selesai dilaksanakan atau tidak, tepat sasaran atau tidak, dibangun sempurna atau terbengkalai, begitu juga tidak penting apa dapat dimamfaatkan oleh rakyat atau tidak. Yang penting adalah adanya suatu “propaganda pembangunan”.

Propaganda pembangunan ini pada akhirnya akan menciptakan kelas baru dalam sistem ekonomi dan social kemasyarakat. Hal ini karena sasaran pembangunan tidak berorientasi kepada mewujudkan kesejahteraan rakyat, melainkan hanya pada orientasi pada penghabisan anggaran dengan seribu macam cara. Apalagi untuk mendapatkan suatu proyek pembangunan dari anggaran Negara biasanya dilakukan dengan berbagai triks dan instrik. Pemenang proyek biasanya juga harus menyetor fee kiri-kanan, karena bagi mereka yang jujur sering kali katanya tidak diproses berkasnya oleh pihak panitia pemengang proyek. Meskipun claim itu sulit dibuktikan, tapi sudah menjadi rahasia umum dalam dinamika pengurusan sebuah proyek pembangunan dari dana Negara. Jadi dapat dibayangkan jika dari awal saja sudah seperti ini, maka pembangunan yang dilakukan juga menjadi asal-jadi. Sehingga tidak heran jika setiap jalan dari dana pemerintah, tidak akan bertahan lebih dari satu tahun, dan setelah itu hancur lagi.

Kemiskinan Struktural
Konsep pembangunan seperti ini, menyebabkan beberapa daerah terpencil tidak pernah merasakan jalan beraspal atau sarana dan prasarana lainnya. Desa Lataling misalnya, sebuah desa di Kecamatan Teupah Selatan Simeulu, hampir seumur bangsa Indonesia ini, tidak pernah melihat dan merasakan adanya jalan beraspal, listrik, telpon,dll. Selama ini akses kedunia luar hanya mengunakan perahu kecil. Namun jika cuaca alam tidak mendukung, maka mereka hanya akan terkurung dalam keterpencilannya. Hal ini disebabkan kerena pembanguna tidak pernah sampai kesana. Akibatnya jika ada hasil hutan dan pertanian lainnya, menjadi sangat sulit bagi mereka untuk menjualnya. Karena tidak adanya akses yang disediakan oleh Negara bagi mereka. Hal inilah yang menyebabkan kemiskinan terus menjadi fenomena social disana.

Kemiskinan struktural adalah sebuah kemiskinan yang hadir dan muncul bukan karena takdir, bukan karena kemalasan, atau bukan karena karena keturannya miskin. Namun kemiskinan struktural merupakan kemiskinan yang muncul dari suatu usaha pemiskinan. Pemiskinan yang dilakukan oleh sebuah sistem Negara. Para pakar strukturalis menyatakan bawah kemiskinan ini timbul karena adanya hegemoni dan karena adanya kebijakan negara dan pemerintah atau orang-orang yang berkuasa, dimana orang yang termarjinalkan semakin termarjinalkan saja.

Harus diakui bahwa siapa pun tak ada yang menghendaki dirinya bodoh, terbelakang dan miskin. Setiap manusia berharap bisa hidup berkecukupan dan tak terbelakang. Namun, dalam realitas harapan tersebut terkubur dan kandas oleh kondisi yang memaksa.

Secara sosiologis, kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan ditentukan oleh tiga faktor; yakni kesadaran manusia, struktur yang menindas, dan fungsi struktur yang tidak berjalan semestinya. Dalam konteks kesadaran, kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan biasanya merujuk pada kesadaran fatalistik dan menyerah pada "takdir". Suatu kondisi diyakini sebagai pemberian Tuhan yang harus diterima, dan perubahan atas nasib yang dialaminya hanya mungkin dilakukan oleh Tuhan. Tak ada usaha manusia yang bisa mengubah nasib seseorang, jika Tuhan tak berkehendak. Kesadaran fatalistik bersifat pasif dan pasrah serta mengabaikan kerja keras.

Faktor penyebab lain yang menyebabkan kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan karena otoritas struktural yang dominan. Kemiskinan, misalnya, bisa disebabkan oleh ulah segelintir orang di struktur pemerintahan yang berlaku tidak adil atau tidak mahir dalam mengelola amanah sebagai pemimpin. Kemiskinan yang diakibatkan oleh problem struktural disebut "kemiskinan struktural". Yaitu kemiskinan yang sengaja diciptakan oleh kelompok struktural untuk tujuan-tujuan politik tertentu.

Persoalan kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan juga disebabkan karena tidak berfungsinya sistem yang ada. Sebab orang-orang yang berada dalam sistem tidak memiliki kemampuan sesuai dengan posisinya. Akibatnya sistem berjalan tersendat-sendat, bahkan kacau. Kesalahan menempatkan orang tidak sesuai dengan kompetensinya (one man in the wrong place) bisa mengakibatkan kondisi bangsa ini menjadi fatal.
Pada umumnya kemiskinan yang menimpa masyarakat disebabkan oleh kekeliruan sistem, dalam hal ini peranan penguasa negara. Selama ini, kebijakan ekonomi pemerintah bertumpu pada pertumbuhan ekonomi bukan pada distribusi ekonomi. Sehingga meskipun berhasil menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pemerintah gagal mengurangi kesenjangan apalagi menciptakan distribusi ekonomi yang adil.

Muhammad SAW, Nabi terbesar sepanjang masa, pernah bersabda jangan sekali-kali memperlakukan orang yang terdzalimi, orang yang kesusahan, orang yang melarat dan orang yang miskin, sebab doa orang-orang tersebut sangatlah mustajab dan didengar oleh ALLAH SWT. Namun kemiskinan struktrual sudah merenggut itu semua, kemiskinan struktural sudah menggurita dan menjadikan orang miskin semakin menggerang kesakitan dengan kemiskinannya, seraya tidak mampu berbuat apa-apa untuk mengentaskan kemiskinan.

Karl Marx juga pernah menulis bahwa jangan pernah meremehkan orang-orang miskin, sebab dari mereka amarah bisa menggelegak menjadi sebuah revolusi sosial, revolusi yang dipelopori oleh orang-orang miskin yang akan membumi hanguskan kaum-kaum “berjois baru” yang selama ini menempatkan orang miskin menjadi semakin miskin.

Diakhir tulisan ini, saya ingin mengutip sebuah kata dari seorang sahabat, bahwa penindasan yang paling kejam dan hina dapat menciptakan suatu perdamaian, akan tetapi perdamaian tidak pernah dapat diciptakan dari masyarakat yang miskin dan lapar.

Published by Aceh Institute

Aceh Tsunami Video



On 26 December 2004, a 9.1-magnitude underwater earthquake caused a tremendous tsunami that devastated Aceh Province, Indonesia, resulting in the deaths of some 128,715 people (as of 18 April 2005). This tragedy evoked great concern internationally. Governments, multilateral organizations, international, national and local NGOs, religious organizations, ethnic organizations, professional organizations, educational institutions and others have rushed to provide aid to the people of Aceh.

"Miracle" Mosques Defy Tsunami Onslaught

BANDA ACEH, Indonesia :

In Indonesia's tsunami wastelands on the northern tip of Sumatra island, little remains of whole towns lost to the colossal forces that came thundering in from the ocean.

But across these battered shores, dozens of mosques still stand, their minarets glinting defiantly in the sun - a phenomenon survivors in the deeply Islamic region credit as much to divine intervention as robust architecture.
"God's invisible hands prevents the mosque's destruction," said Mukhlis Khaeran, who saw the sea sweep away his home village of Baet outside the north Sumatran city of Banda Aceh, but leave the neighbourhood mosque relatively intact.

He punishes us for our greed and arrogance but He will protect his house," Khaeran told AFP, his arms covered with injuries sustained in the disaster that killed at least 100,000 people around the north Sumatran province of Aceh.

Mosques are an everyday sight in most of Indonesia, but especially in Aceh, credited with the being one of Islam's main gateways into the archipelago of islands which now forms the world's largest Muslim-populated country.

Despite a long-lasting independence struggle, Aceh, parts of which are under traditional Islamic sharia law, has remained a Muslim heartland for Indonesia, which mostly practices a very relaxed interpretation of the faith.

Spiritual beliefs in Aceh and around the Indian Ocean were tested to the limit on December 26 when an epic earthquake sent towers of water crashing ashore, obliterating virtually everything in their path.

But while some spoke of "God's wrath", hundreds turned to their mosques, in panic for shelter from the advancing tides and later for spiritual comfort in a time of desperate need.

In the village of Kaju, also outside Banda Aceh, hundreds of homes were annihilated while the local mosque suffered only a few cracks in the walls.

"There is a saying among Acehnese that a mosque is God's house and no one can destroy it but God Himself," said Ismail Ishak, 42, who was digging rubble from his crumbled house while searching for seven of his relatives.

In Pasi Lhok, some 20 kilometres (12 miles) east of the north Aceh town of Sigli, 100 frightened people sheltering inside their mosque were spared while almost every house in the surrounding five villages was pulverised, according to chief cleric Teungku Kaoy Ali.

In Meubolah, a town on Aceh's western coast less than 150 kilometres (95 miles) from the quake epicentre which bore the full force of the tsunami, leaving at least 10,000 dead, mosques stand sentinel over a vanished town centre.

Banda Aceh resident Achyar said when he saw the waves pounding in from the sea, his first instinct was to turn and run for the nearest mosque.

"I climbed the mosque tower and hung on to an electric wire until water receded," he said. "Many of my friends, many of them ethnic Chinese, died because they climbed to the second floor of their shops and were trapped there," he said.

Another, less divine, explanation for the survival of the mosques is that many are built much more sturdily than most of the other structures in the towns and cities of Aceh.

However one mosque in Sigli was made only of wood but still survived unscathed despite all the other buildings around it being destroyed.

Banda Aceh's grand Baiturrahman mosque suffered partial damage from the quake and tsunami, but proved invaluable to the city's survivors in the minutes, hours and days that followed the cataclysm.

For many it became a rallying place to search for missing friends or relatives, a makeshift hospital to treat the injured and a morgue to collect the dead.

With much of Banda Aceh likely to remain in ruins for months, residents were quick to repay their debt to their cherished religious buildings, working swiftly to ensure the Baiturrahman mosque was one of the first places restored.

On Sunday, some 300 survivors gathered for their first prayers since their five-times daily ritual was halted - a major step on the long road back to normality in Aceh.