Chairul Fahmi
Aceh paska bencana Tsunami, telah mengalami perubahan yang sangat pesat dan signifikan. Terutama pertumbuhan dibidang jaringan internet. Pertumbuhan dunia maya tersebut dapat dilihat dan diakses secara gratis di berbagai warung kopi yang dijumpai dimana saja di Kota Banda Aceh.
Pada awalnya, tujuan adanya pelayanan WIFI (akses internet) diwarung-warung kopi sangatlah positif, selain untuk menarik pelanggan, juga dapat memberikan akses kepada masyarakat dalam berbagai informasi, baik berita maupun akses terhadap sumber-sumber ilmu dan dunia pendidikan lainnya.
Namun demikian, dalam perkembangannya, para pengguna akses internet tersebut umumnya hanya menggunakan untuk chatting, dan bermain game pocker. Permainan game pocker sendiri, kemudian tidak hanya untuk sekedar “fun” semata, tapi telah menjurus ke arah “perjudian” diantara para pemain permainan itu. Sehingga hal ini telah mendorong Majelis Ulama Indonesia cabang Kota Tangerang Selatan mengharamkan permainan Poker di Facebook. Seperti diungkapkan oleh Sekretaris MUI, Abdul Rojak bahwa permainan tersebut sering digunakan untuk bermain judi secara terselubung, sehingga ia mendesak MUI pusat untuk mengharamkan permainan ini secara nasional (15/9/2009).
Poker adalah salah satu aplikasi yang terdapat dalam jejaring sosial yang sekarang sangat digandrungi oleh masyarakat Indonesia yaitu facebook. Sementara untuk bermain pocker tersebut, seseorang harus memiliki chips dengan jumlah nominal tertentu untuk dapat bermain pocker tersebut. Media facebook yang awalnya digunakan hanya sekedar untuk saling berkenalan maupun bersilaturahmi antar sesama, kini mulai sedikit berubah. walaupun ini hanya sebagian kecil yang melakukan namun praktek ini sudah sangat menggelikan. Permainan Pocker pada awalnya hanyalah aplikasi games yang dibikin untuk memperbanyak fitur games di facebook, kini telah dijadikan sebagai media untuk “perjudian”.
Praktik perjudian ini, tidak hanya telah meracuni kebiasaan dan selera para remaja, mahasiswa, bahkan beberapa orang telah menjadikan permainan ini untuk dijadikan sebagai mata pencaharian baru. Biasanya, praktek “perjudian” ini dilakukan dengan melakukan traksaksi berupa menjual chip yang telah dimenangkan oleh seseorang yang telah sangat ahli dalam bermain pocker ini. Chips ini kemudian ditawarkan dan dibeli oleh orang lain atau agen tertentu untuk dijual/ditransfer ke account pocker lain yang berminat. Pin dan chip ini akan dijual dengan harga tertentu secara cash (tunai) dalam bentuk uang (rupiah). Biasanya besar harga satu milyar chips akan ditukar atau dibeli dengan uang sejumlah lima puluh ribu sampai seratus ribu rupiah bahkan ada yang sampai satu juta rupiah.
Praktek transaksi dari permainan pocker di portal facebook ini, memang menjadi hal baru dalam dunia “perjudian maya”, khususnya di Aceh. Sehingga lumayan sulit untuk dibuktikan seperti perjudian konvensional. Meskipun demikian, praktek ini telah meracuni dan menjadi trens baru dalam mendapatkan keuntungan dari hasil transaksi pin atau chip yang didapatkan dari permainan pocker tersebut. Apalagi para maniak permainan ini akan mengeluarkan berapapun uang untuk membeli chip atau pin yang ditawarkan tersebut.
Tertutupnya informasi dan minimnya kajian terhadap model praktek “perjudian” ini, telah mengakibatkan petugas Wilayatul Hisbah (WH), sebagai badan resmi Negara yang bertugas untuk mengakkan syariat Islam di Aceh tidak pernah menyadari, mengawasi atau bahkan menertibkan praktek-prakter tersebut. Begitu juga dengan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, sepertinya luput dalam hal seperti ini. MPU sebagai lembaga yang mempunyai wewenang dalam hal kajian “haram dan halal” terhadap sesuatu kegiatan yang berkembang di Aceh, mestinya melakukan sebuah penelitian, dan kajian mengenai trens perjudian model ini. Sehingga dapat mengeluarkan suatu fatwa yang berkekuatan hukum. Seperti yang pernah difatwakan oleh MUI Kota Tanggerang Selatan.
Karena tidak adanya suatu seruan moral dan hukum yang mengatur secara jelas mengenai hal inil, Poker akhirnya menjadi sesuatu yang fenomenal dikalangan mereka yang suka berjudi online, karena mereka bisa bermain sepuasnya tanpa bisa terendus oleh polisi atau WH. karena kalaupun polisi atau WH ingin menangkap mereka tak akan punya bukti yang kuat disebabkan mereka hanya bermain game seperti game lainnya.
Namun, ketika diteliti dari cara pertaruhan permainannya, memang poker ini tak seperti berjudi konvensioanal. Namun sebenarnya ia termasuk sebuah proses, cara untuk menjudikan atau dengan kata lain poker adalah penjudian yang terselubung berkat kepiawaian penggunanya.
Sementara itu dalam Qanun No.13 tahun 2003 tentang maisir (perjudian) dalam pasal (2) telah nyata dinyatakan bahwa “ruang lingkup larangan maisir dalam Qanun ini adalah segala bentuk kegiatan dan/atau perbuatan serta keadaan yang mengarah kepada taruhan dan dapat berakibat kepada kemudharatan bagi pihak-pihak yang bertaruh dan orang-orang/lembaga yang ikut terlibat dalam taruhan tersebut”.
Jika kita mengkaji mendalam materi pasal tersebut, praktek ini memang sedikit dilematis, artinya disatu sisi bahwa praktek ini sepertinya tidak ada taruhan yang dilakukan, karena tidak ada uang yang dilemparkan dimeja taruhan seperti perjudian konvensional. Tapi lebih kepada transaksi berupa jual-beli pin dan chip dengan harga tertentu, biasanya mereka mengatakan seperti membeli voacher. Namun disisi lain, praktek ini juga terdapat unsur atau “illat hukum” yang dapat dikategorikan sebagai praktek perjudian, karena pin dan chip yang dibeli dengan harga tertentu tersebut, dijadikan sebagai “taruhan” dimeja pocker. Artinya secara tidak langsung kegiatan dan praktek tersebut telah mengarah kepada taruhan melalui nominal pin atau chip, sehingga dapat berakibat kepada kemudharatan bagi pihak-pihak yang bertaruh. Disinilah unsur “perjudian” dipraktekkan dalam permainan pocker tersebut.
Meskipun demikian, perlu adanya suatu kajian mendalam dan komprehensif dari pihak yang berwenang mengenai praktek permainan pocker ini, sehingga penegakan hukum syariat tidak hanya ditujukan kepada pelaku perjudian yang menggunakan system konvensional. Tapi juga terhadap praktek “perjudian” yang menggunak system portal. Sehingga Qanun No.13 tahun 2003 tentang maisir dapat diimplementasikan secara integral dan menyeluruh di setiap praktek “perjudian” di Aceh.