Persoalan dan perdebatan masalah syari’at Islam yang diimplementasikan di Aceh dalam bingkai NKRI menjadi kajian yang sangat menarik, hal ini tidak hanya dalam kontek keacehan tapi juga dalam kontek nasional maupun international. Betapa tidak, sejak di launching secara resmi oleh pemerintah RI melalui UU No.44 tahun 1999, diskursus masalah syari’at Islam menjadi kajian hangat, baik di warung kopi maupun pada tingkatan akademisi sampai seminar ditingkat International. Dalam kontek keacehan, mungkin semua orang Aceh sepakat dan tidak ada yang menolak penerapan syari’at di bumi Serambi Mekkah ini. Namun kemudian, yang menjadi persoalan adalah apakah esensi, tujuan dan nilai dasar dari syari’at Islam itu sendiri telah teraktualisasikan di Aceh dengan baik atau tidak? Sudah memenuhi hak-hak dasar dari tuntutan shari’at? atau hanya berlaku bagi kemaksiatan yang bersifat “individual” dan tidak mampu menyentuh kejahatan/kedhaliman dalam bentuk kekuasaan? Ini menarik kita kaji karena fenomena yang kita lihat selama ini adalah wilayah syari’at yang sering menjadi headline berita-berita koran lokal maupun nasional yang umumnya “terpenjara” dalam wilayah privacy saja, seperti persoalan jilbab, khalwat, mesum, khamar dan judi. Namun persoalan besar tentang ketidakadilan yang dialami oleh rakyat Aceh yang seharusnya merupakan dasar dari esensi dan tujuan syari’at itu sendiri malah terabaikan oleh penguasa di Aceh dan pusat pun juga oleh “pemilik modal” dalam proses pembangunan Aceh kembali setelah bencana tsunami.
Dalam konsep tujuan syari’at Islam (maqashid syar’i), hal yang paling esensi yang harus diimplementasikan adalah persoalan keadilan dan kemashlahatan, dan kasus yang paling aktual kita lihat hari ini adalah ketidakadilan yang dialami oleh ahli waris korban tsunami di pantai barat selatan maupun juga dibagian timur utara, ketika mereka mengalami diskriminasi bantuan dana dari BRR, dimana BRR mengambil kebijakan mengeliminir bantuan dari 15 juta/kk menjadi 2,5 juta/kk, begitu juga hak-hak dasar rakyat lainnya masih terabaikan serta banyak fenomena lainnya yang pada prinsipnya sangat tidak sesuai alias pengingkaran terhadap nilai-nilai shari’ah itu sendiri, karena pada dasarnya syari’at itu sendiri merupakan sebuah prinsip hukum yang melindungi nilai-nilai kemanusian dan keadilan.
Sayed Qutb dalam bukunya 'Qutb’s history;thought and discourse' (1983) menegaskan bahwa setiap orang (rakyat) mempunyai hak untuk makan, minum, pakaian, perumahan, juga perkawinan, karena ini merupakan kebutuhan dasar setiap manusia. Selain itu mereka juga mempunyai hak untuk perawatan kesehatan, pendidikan dan juga kerja. Ini semua adalah tujuan dari pada syari’ah (maqashid syar’i) yang kemudian diharapkan akan membentuk masyarakat madani (muslim society).
Nilai-nilai syari’at pada prinsipnya tidak hanya dilihat dari sisi legal formal saja tapi lebih jauh kepada sisi keadilan social (social justice) dan ini merupakan tujuan dan esensi dari shari’ah yang paling utama (maqashid syar’i). Sebagai sebuah contoh baru-baru ini adalah upaya yang telah dilakukan oleh rakyat yang menjadi korban dari bencana tsunami yang menuntut keadilan, tuntutan mereka juga sebenarnya adalah tuntutan dari nilai-nilai syari’at Islam, demontrasi yang dilakukan oleh rakyat karena mereka merasa didhalimi oleh sebuah ketidakadilan, namun kemudian tuntutan dan perjuangan mereka terkalahkan oleh kebijakan “egoistic” kaum pemilik/pemegang modal yang mempunyai kekuasaan lebih kuat yang oleh Karl Marx disebut sebagai kaum borjuis.
Dalam konsep akademisi sebagaimana ditulis oleh David (1983) mengenai pemikiran Rousseau tentang bourgeois, kaum borjuis adalah kaum yang cenderung mengutamakan egoismenya dan cenderung menjadikan kekuasaan untuk melayani kepentingannya saja. Lebih jauh, dari satu sisi kaum borjuis terkesan “bersahabat” dengan rakyat (kelas bahwa) tapi sisi lain mereka lebih mementingkan diri sendiri, kaum borjuis juga kurang punya rasa keadilan dan persatuan.
Meskipun persepsi ini terkesan tendensius kalau dikaitkan dengan lembaga BRR sebagai pemilik/pemegang modal pembagunan Aceh paska tusnami, namun dalam pandangan masyarakat awam yang pernah “bermabit” didepan pagar gedung BRR-hal ini sejalan dan berbanding lurus dengan apa yang digambarkan oleh Rousseau, bahwa penguasa dan lembaga pemilik/pemegang modal ini sangat egois dalam kebijakannya dan menabur ketidakadilan dalam masyarakat korban tsunami. Alasan bantuan rehab menjadi bantuan social karena tidak mencukupi anggaran sangatlah tidak releven dan tidak rasional, karena rakyat itulah yang menjadi korban tsunami, yang sudah seharusnya mereka mendapatkan hak yang sama. Namun disisi lain para korban melihat para penguasa ini menghabiskan milyaran dari anggaran ataupun bantuan “takziah” korban tsunami dari berbagai negara donor untuk rapat-rapat dihotel-hotel berbintang lima, melakukan “rihlah” ke manca negara, dan berbagai pelayanan “wah” lainnya yang dinikmati oleh kaum BRR. Inilah fenomena akhir-akhir ini yang terlihat dibumi serambi mekkah dimana suara rakyat kecil dan makhluk lemah yang datang mencari keadilan hanya dianggap bagai “anjing menggonggong dan kafilah berlalu” serta sudah tak terdegarkan lagi dan hilang diterpa isu yang lainnya, yaitu, pemilik modal “tertipu” oleh para kontraktor interlokal.
Islam dan Keadilan social
Keadilan adalah nilai yang paling fundamental dan tuntutan asasi dalam ajaran Islam, tidak hanya dalam lingkup keluarga namun lebih jauh dalam kontek kenegaraan, baik dari segi kebijakan politik, sosial dan ekonomi. Dalam persoalan keadilan sosial-politik, shari’at (Islam) dengan sangat tegas menentang setiap bentuk ketidakadilan, dan pengambilan keputusan penguasa di wilayah shari’at haruslah berlandaskan pada rasa keadilan dalam setiap sector dan masyarakat, pengambilan kebijakan bukanlah hanya untuk memelihara kepentingan penguasa seperti halnya kaum “machiavellian”, dimana Machiavelli percaya bahwa rakyat itu lemah, dan para politisi (pengambil kebijkan) itu kebanyakan pembohong, penipu, pengkhianat. Namun demikian, Machiavelli juga mengatakan bahwa para penguasa bergaya sopan dan berprilaku dengan sangat mulia, akan tetapi itu tidak menjamin bahwa mereka akan menghasilkan keputusan yang baik dan berkeadilan bagi masyarakat.
Namun dalam Islam keadilan social selalu melihat keseimbangan dan tidak ada pembagian kelas dalam social masyakarat, tidak ada kelas yang kuat atau rakyat sebagai kaum yang lemah. Hal ini sebagaimana dikisahkan dalam kitab Taamir ki Taraf, tentang sebuah keteladanan seorang penguasa dalam memberi rasa keadilan kepada rakyatnya terlihat pada saat khalifah Umar ibn Khattab (alfaruq) melakukan perjalanan ke tanah Palestine dari Madinah, beliau hanya mengunakan pakaian kumal dan ditemani oleh seorang pembantunya dan juga hanya dengan seekor unta, Umar al-faruq berkata kepada pembantunya; “Jika saya menaiki unta dan kamu berjalan kaki, maka itu tidak memberikan rasa keadilan bagimu, begitu juga jika kamu menaikinya dan saya berjalan kaki, maka itu juga tidak adil bagi saya, demikian juga jika kita berdua menaikinya, maka itu tidak akan adil bagi unta. Jadi, lebih baik jika ketiganya dari pada kita bergantian/bergiliran”, yaitu; saat Saiyina Umar menaiki unta, maka pembantunya berjalan begitu juga sebaliknya dan yang terakhir mereka melepaskan unta tanpa beban, sehingga ketiga-tiganya berjalan kaki.
Betapa agungnya keadilan dalam Islam, tidak hanya bagi sesama manusia tapi juga Islam memberikan rasa keadilan sekalipun bagi binatang, sebuah keteladanan yang sudah sangat langka kita dapatkan saat ini walaupun di Aceh yang mengklaim diri sebagai wilayah shari’at serambi mekkah. Fenomena tuntutan keadilan yang merupakan esensi dari shari’at Islam yang telah diperjuangkan dengan sekuat tenaga oleh para janda, anak-anak yatim, dan masyarakat lemah lainnya yang bahu-membahu telah mendatangi kantor pemilik/pemengang modal rekontruksi kembali Aceh, namun suara mereka tetap saja terkalahkan oleh keegoisan pengambil kebijakan yang diidentikkan oleh Karl Marx sebagai “kaum borjuis” yang telah menabur luka dihati para korban bencana, dan nilai-nilai shari’at tidak mampu menyentuh mereka, hanya kepada Tuhanlah kita kembali. Wallahu’alam. [published by Aceh Institute]