Pengantar
“Dan berpegang teguhlah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni’mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni’mat Allah bersaudara, dan kamu telah berada ditepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk” (QS.Ali Imran:103)

Kehidupan manusia dibelahan bumi manapun tidak akan pernah terlepas dari berbagai persoalan yang terus muncul dalam kehidupannya sehari-hari, yang secara tidak langsung juga akan menimbulkan pertentangan diantara satu dengan yang lain. Yang kadang kala pertentangan itu memunculkan konflik sesama. Karena hal ini sudah menjadi fitrah manusia dimana Tuhan selain menjadikan manusia sebagai khalifah dimuka bumi, manusia juga diberi potensi diri untuk memunculkan konflik, baik konflik dalam diri sendiri, konflik sesama manusia, konflik dangan alam serta kadang kala manusia juga membangun konflik dengan Tuhannya.

Konflik sosial-budaya
Persoalan yang paling besar dihadapi oleh umat Islam saat ini adalah kehilangan identitas keislamannya dalam segala aspek kehidupan, baik dalam persoalan kenegaraan maupun dalam rumah tangga, dalam bidang politik, ekonomi sampai sosial budaya, tidak terlepas dari pengaruh nilai-nilai modernisasi yang muncul dari dunia sekuler. 

Nilai-nilai agama (spiritualitas Islam) yang diterapkan dalam realitas sehari-hari hanya untuk memenuhi kewajibannya selaku hamba kepada Tuhan (ritualitas ibadah mahzhah), padahal Allah berfirman bahwa Dia tidak akan mengalami kekurangan sedikitpun walaupun tidak ada satupun manusia yang menyembah-Nya. Artinya bahwa hakikat semua ajaran Islam (syari’at) yang telah diturunkan oleh Allah melalui Rasul Muhammad saw, adalah untuk mengatur tata kehidupan manusia sebagai khalifah dibumi, dan semua aturan itu adalah untuk kemashlahatan manusia disamping juga mendapat balasan pahala dihari yang kekal (akhirat). Namun dalam realitas sekarang setiap prilaku. Sikap dan keputusan terhadap kepentingan keumatan sering tidak mencerminkan nilai-nilai syari’at.

Dalam konteks keacehan, setelah mengalami konflik kemanusiaan selama puluhan tahun yang kemudian berakhir dengan bencana mahadasyat gempa dan gelombang tsunami yang menelan korban ratusan ribu jiwa, konflik sesama anak manusia berakhir dengan perdamaian. Namun Aceh harus kembali bangkit dari nol dalam membangun daerah dan juga masyarakat yang telah porak poranda dalam waktu 15 menit. 

Sebuah tantangan dan fenomena baru kembali muncul dalam kehidupan rakyat Aceh setelah lebih setahun dari bencana tsunami, yaitu “konflik” sosial-budaya.
Setelah berbagai belahan dunia datang membantu proses rekontruksi dan rehabilitasi Aceh, secara tidak langsung Aceh telah menjadi daerah yang paling terbuka dengan dunia global, aceh menjadi daerah yang datangnya dollar dari delapan arah mata angin, begitu juga persentuhan budaya sama sekali tidak dapat dihindari, hal ini sangat berpengaruh pada pola pikir masyarakat Aceh dan Indonesia pada umumnya. namun disisi lain berbagai persoalan juga muncul dimasyarakat tingkat bawah, kecemburuan sosial menjadi faktor yang sangat riskan yang dapat memunculkan konflik baru, ketika ada sebagian orang mendapat bantuan banyak rumah, namun yang lain tidak mendapatkan sama sekali, begitu juga ketika ada beberapa pihak yang mengelola bantuan akan tetapi tidak sampai kepada yang berhak, ketika ada daerah yang mendapat bantuan secara berkala dari berbagai NGO dan pemerintah namun ada daerah yang tidak pernah tersentuh samasekali, ada juga fenomena dimana masyarakat yang tidak pernah merasa puas terhadap bantuan yang diberikan sementara saudaranya belum mendapatkan apa-apa. hal ini menjadi “benih-benih” yang akan memunculkan konflik baru dalam masyarakat, maka sudah seharusnya para penguasa yang mempunyai amanah untuk berbuat lebih bijak dan adil , “Dan berbuat adillah kamu karena adil lebih dekat kepada taqwa”(QS.Al-Maidah:8).

Pergeseran pola prilaku dan budaya setelah lebih setahun tsunami semakin jauh dari nilai-nilai syari’at, fenomena kehidupan malam diperkotaan menjadi tontonan yang sangat menyedihkan, pasangan muda mudi (non muhrim) berpelukan diatas motor(kereta) dengan busana yang super ketat, tanpa jilbab, atau berjilbab namun tampak pantat, disepanjang pantai, setiap hari libur kita menyaksikan perbuatan maksiat (berpelukan yang bukan muhrim) kembali tumbuh bagai jamur dimusim hujan, begitu juga ditrotoar sepanjang jalanan, saat azan magrib memanggil anak manusia untuk menyembah Tuhan, namun begitu tenang tertawa dan duduk mesra dengan pacarnya atau bersama “gerombolannya’ tanpa peduli suara azan, dibarak-barak pengungsian, kita bisa menghitung berapa orang yang selalu melaksanakan shalat secara berjamaah, berapa banyak orang yang hadir ketika ada relawan yang memberi ceramah agama, atau nasehat spiritual, berapa banyak orang tua yang peduli terdapat pengajian anaknya selepas magrib sebagaimana budaya bangsa Aceh sejak zaman dahulu, hanya beberapa orang saja. Sungguh sangat menyedihkan, ini hanyalah contoh sebahagian kecil pergeseran budaya yang tampak sehari-hari kita saksikan, belum lagi perbuatan kemaksiatan dan pergeseran nilai-nilai aqidah yang tidak nampak, praktek kolusi dalam mendapatkan sebuah proyek, sogok menyogok dalam perekrutan pegawai, baik sipil, kepolisian ataupun militer, yang semuanya merupakan larangan agama, namun terkadang sudah membudaya, maka tidak heran bencana kemanusiaan akan terus lahir oleh perbuatan manusia itu sendiri. Padahal bencana tsunami meninggalkan pesan dan hikmat yang sangat besar kepada manusia untuk kembali. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman “Telah nampak kerusakan didarat dan dilaut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah memperlihatkan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali kejalan yang benar”.(QS.Ar-Rumm:41).

Kembali Ke Aqidah
Merenungi hikmah dibalik hijah Rasul ke Madinah, yaitu disaat Rasul bersama sahabat menyelamatkan ajaran Islam dari ancaman kaum Jahiliyah yang ingin membunuhnya dan memusnahkan ajaran Islam, dan ini tidak terlepas dari konflik sosial, politik, budaya dan agama antara Nabi saw dan pengikutnya dengan kaum Jahiliyah, maka dengan analisis SWOT melalui perintah Allah Nabi melakukan hijrah untuk menyelamatkan agama (kenyakinan) serta mengumpulkan kembali kekuatan.Kita dapat merenungi bahwa betapa beratnya perjuangan rasul untuk menyelamatkan aqidah Islam, ketika mereka harus meninggalkan tanah kelahiran dan leluhurnya berangkat ke Madinah dengan meninggalkan harta benda, bahkan juga istri dan anak tercinta, namun dengan kenyakinan kepada Allah ketika Rasulullah sampai di Madinah betapa besarnya sambutan kaum anshar terhadap Rasul dan kaum muhajirin. kaum anshar menjadi saudara yang bersatu padu membantu menegakkan aqidah Islam dengan cinta dan kasih sayang. Persaudaraan dalam aqidah Islam membawa perdamaian yang abadi dinegeri madani setelah keluar dari negeri yang penuh konflik negeri Mekkah.
Aceh pada dasarnya adalah daerah yang baru saja keluar dari berbagai konflik yang berkepanjangan, yang telah menoreh luka yang sangat dalam dan meninggalkan ribuan anak-anak yatim dan janda, yang kemudian Allah akhiri dengan bencana tsunami sehingga mengetuk hati para penguasa yang melahirkan konflik itu untuk berdamai, damai karena tetesan air mata yang sudah kering, tetesan darah yang sudah mematikan rumput-rumput dan menghancurkan rumah, ladang dan persawahan. Damai yang lahir dari ratusan ribu nyawa manusia, rakyat Aceh tercinta. Sehingga lahirlah simpati dan empaty dunia, seluruh bangsa di dunia datang membantu Aceh untuk kembali bangkit, bangkit dari kehancuran material dan mental. Bangsa dunia yang membantu Aceh menjadi saudara tanpa batas negara, suku dan bangsa. Maka sangat menyedihkan ketika rahmat yang datang dari berbagai pejuru dunia, namun secara moral dan spiritual mengalami kehancuran, kesadaran agama sudah luntur, persaudaraan dan tolong menolong dalam kebaikan sudah sulit kita temukan, dan mungkin ini akan muncul konflik baru di Aceh yaitu konflik sosial dan budaya, ketika berbagai pola sikap tingkah laku mengalami distorsi nilai, maka sudah seharusnya bangsa Aceh kembali kedasar kenyakinan, aqidah Islam, yang harus diaktualisasi (diterapkan) dalam setiap aspek kehidupan, sebagaimana halnya Rasulullah menetapkan nilai-nilai Islam di negeri Madinah. Sehingga persaudaraan dalam akidah Islam akan menjadi cahaya baru dalam perdamaian di Aceh selamanya. “Jikalau sekiranya penduduk negeri beriman dan bertaqwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”. (QS.Al-A’raf: 96). Wallahu’alambhishawab.