Serambi Indonesia memuat sebuah berita yang mencegangkan dan mengherankan semua orang, ‘Tiga Oknum WH Diduga Perkosa Tahanan”, kasus ini juga menjadi headline beberapa media lainnya di republik ini. Berita ini kemudian menjadi heboh diseluruh negeri syariat itu. Tak seorangpun menyangka, petugas WH itu adalah “sang pemerkosa?”. Kutukan dan keprihatian terus mengalir, berbagai kecaman, cacian dan ketidakpercayaan dari berbagai pihakpun bermunculan. Seorang intelektual kampus terheran-heran sampai ia menulis WH, Why and How? Kenapa dan bagaimana itu bisa terjadi?unbelievable, mungkin itulah yang ingin dikatakannya.

Ceritanya, digelapan Jumat malam, 08 Januari 2010, seorang gadis yang masih belia, seorang mahasiswi di kota Langsa diperkosa oleh tiga oknum polisi syariat, di dalam sel tahanan ditengah kesunyian malam yang kelam. Malam itu bagi sang gadis sepertinya seluruh langit runtuh. Mahkotanya dihancurkan secara paksa oleh “sang pemerkosa” yang kabarnya adalah penegak hukum syariat.

Sehari sebelumnya si gadis bersama teman pria-nya ditangkap oleh petugas penegak syariat Islam itu, karena diduga telah melakukan khalwat, yaitu perbuat yang dilarang oleh undang-undang negeri tersebut. Keduanya kemudian dibawa ke kantor satpol PP/WH untuk diperiksa atas perbuatan yang diduga melanggar syariat Islam. Dalam proses pemeriksaan itu, mereka berdua ditahan dan dimasukkan ke dalam “penjara” secara terpisah. Si gadispun dimasukkan ke“kamar gelap’ itu sendirian.

Meskipun dalam undang-undang negeri itu, yaitu qanun No.11 tahun 2002, pasal 14 ayat (3) dan (4), petugas WH hanya memiliki kewenangan untuk menegur, dan menasehati si pelanggar, bukan untuk melakukan penahanan dan tanpa ditemani oleh muhrimnya. Namun gadis itu tetap ditahan. “Sepertinya ada rencana lain dibalik penahan itu, buktinya ada petugas yang tidak seharusnya bertugas, akan tetapi ia kembali ke kantor di malam itu”, begitulah dugaan seorang teman di warung kopi yang ikut prihatin atas peristiwa yang memalukan itu.

Kejadian yang tidak dapat dilupakan seumur hidup sang gadispun terjadi. Saat ia kedinginan sendirian dibalik jeruji besi itu, ketiga oknum itu membuka pintu selnya, ia dibekap dan merekapun memperkosanya. Setelah itu, sel kembali dikunci, hingga pagi hari. Saat penegak hukum syariat lainnya masuk dan melihat sigadis yang malang itu menangis tersedu-sedu. Dalam kepedihan yang sangat dalam, ia menceritakan bahwa telah diperkosa oleh petugas WH yang piket semalam. Hasil Visum Et Repertum juga menyatakan bahwa telah terjadi kekerasan seksual terhadap korban dan terjadi pendarahan hebat.

Tak berapa lama, seperti dirilis oleh media lokal, polisi telah menangkap dua orang pelaku, dan satu lagi dinyatakan kabur. Merekapun dengan terus terang mengaku telah melakukan perkosaan, dan rekontruksi kejadian dilakukan untuk melengkapi penuntutan. Tangis pilu disertai jeritan ibu korban tak dapat dibendung. “Saya tidak terima, saya tidak terima” terdengar lirih suara ibu sang dara yang telah diregut kehormatannya.

Rasa keprihatian, tuntutan dan cacian terhadap sang pemerkosa terus mengalir. Seorang aktifis perempuan mengatakan, “saya setuju bagi mereka yang terbukti melakukan perkosaan itu harus dihukum berat, kalau perlu dihukum mati”. Alasannya karena selain sebagai pelajaran dan pencengahan bagi terulangnya perbuatan tersebut, juga sebanding dengan penderitaan sikorban yang harus menanggung derita itu seumur hidup. Dari pantai barat, Hj.Rosni Idham (Serambi, 12-01-10), seorang penerima Peace Award menyatakan “Para oknum WH itu bukan saja sudah berlaku sebagai ‘musang berbulu ayam’ di dalam konstelasi penerapan syariat Islam di Aceh, tetapi juga bisa kita ibaratkan sebagai bapak yang ‘memakan’ anaknya sendiri. Sangat jahat dan kejahatan ini sangat memalukan Aceh. Hukum pelaku dengan seberat-beratnya,” ujarnya.  Saat ini, seluruh media dan orang-orang penuh dengan diskusi tentang bagaimana cerita ini berakhir, akankah mereka akan dihukum dengan berat atau seperti cerita-cerita lama, kasus ini akan lenyap seiring dengan munculnya berita-berita lainnya, atau mereka akan dibebaskan karena tidak ada saksi, atau hanya dipenjara hanya beberapa tahun saja. Sementara si gadis akan menanggung derita sepanjang hidupnya.

Namun harapan itu kelihatannya hanya tinggal sebuah impian, karena republik ini sepertinya belum memihak dan memberikan keadilan bagi sikorban perkosaan, meskipun itu di negeri “syariat” Aceh. Dalam KUHP Pasal 285 ayat (1) dinyatakan bahwa “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”. Itu adalah ancaman maksimal, biasanya dalam beberapa kasus perkosaan, mereka hanya dihukum hanya beberapa tahun saja, empat atau lima tahun, setelah itu mereka lepas kembali. Seperti yang terjadi dalam putusan pengadilan Negeri Malang, terhadap tindak pidana pemerkosaan di bawah umur (Perkara Pidana No.189/Pid.B/2003/PN Malang), hanya menjatuhkan putusan 1 tahun 6 bulan penjara (http://digilib.umm.ac.id). Sedangkan korban tetap menderita seumur hidup tanpa adanya restitusi (ganti rugi) apapun baik baginya maupun keluarganya. Meskipun dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam konsiderannya berupaya untuk memberikan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia. Akan tetapi dalam penjabaran pasal-pasal di dalam dictum serta dalam penjelasannya tidak terakomodir ketentuan yang memuat hak dan kewajiban bagi korban secara adil.
Sementara dalam draf qanun jinayat juga hampir sama. Pasal 29 ayat (1) dinyatakan bahwa “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan pemerkosaan diancam dengan ‘uqubat cambuk paling sedikit 100 (seratus) kali dan paling banyak 200 (dua ratus) kali atau penjara paling sedikit 100 (seratus) bulan dan paling lama 200 (dua ratus) bulan”. Kalo kita hitung-hitung 100 bulan itu hanya 8.4 tahun, dan maksimal 200 bulan sama dengan 16.8 tahun, ya beda-beda tipislah dengan KUHP produk Belanda. Kata seorang ahli hitung-hitung.

Hal tersebut juga membuat seorang warga negeri syariat ini ikut prihatin atas ketidakjelasan hukum itu, dalam opininya “Syariat 8.9 Skala Richter” dikoran Serambi Indonesia, 28 Januari 2010 ia menulis “Jika melihat pasal sebelumnya (pasal 24) tentang zina, orang akan berasumsi lebih memilih memperkosa daripada berzina. Hal ini karena pasal 24 ayat (1) menyebutkan bahwa pelaku zina diancam cambuk 100 kali (bagi yang belum menikah) dan rajam (bagi yang sudah menikah). Logikanya, jika ia telah menikah dan melakukan perkosaan, ia tidak akan dirajam. Bukankah begitu?. Herman NR kemudian melanjutkan tulisannya “Lantas, apa tidak mungkin orang-orang, termasuk anggota WH-lebih memilih memperkosa ketimbang berzina?Kan hukum memperkosa lebih ringan daripada berzina”. Sungguh menggelikan.
Saya kemudian, mencoba mencari ketentuan hukum di negara-negara lain yang menerapkan hukum yang paling tidak “setimpal” bagi sang pemerkosa. Di Mesir dalam Koran Al-Ahram, seperti dilansir oleh Koran rakyat merdeka (Rabu,20/01) Mesir telah mengajukan RUU baru dimana akan memberlakukan hukuman penjara seumur hidup bagi pelaku pelecehan seksual dan hukuman mati bagi pelaku pemerkosa. Penasihat Menteri Kehakiman, Marei Mamdouh, mengatakan bahwa “tujuan RUU ini adalah untuk melindungi perempuan dan anak-anak”.
Sementara yang lebih menarik hukum bagi pemerkosa adalah di Philipina, dalam Republic Act No.8353 Philippines Code, Bab tiga tentang “perkosaan’ dinyatakan “The death penalty shall also be imposed if the crime of rape is comitted with any of the following aggravating/qualifying circumstances; (1) When the victim is under eighteen (18) years of age and the offender is a parent, ascendant, step-parent, guardian, relative by consaguinity or affinity within the third civil degree, or the common law spouse of the parent of the victim; (2) When the victim is under the costody of the police or military authorities or any law enforcement or penal institution. Itulah hukum negeri orang, sang pemerkosa akan dihukum mati, jika (1) korban yang mereka perkosa dibawah 18 tahun, dan jika pelakunya adalah orang tuanya, pelindungnya, orang tua angkat, dan sejenisnya. (2) jika korban perkosaan dalam penahanan polisi, militer, atau setiap lembaga penegak hukum.

WH adalah lembaga penegak hukum (law enforcement), dan andai saja republik ini punya hukum seperti itu, mungkin “sang pemerkosa” yang merupakan penegak hukum itu akan berpikir seribu kali lagi untuk melakukan perbuatan “terkutukya” itu, karena taruhan adalah nyawanya. Tapi itu adalah hukum di negeri seberang, bukan di negeri yang “disyariatkan” orang ini.

Sang pemerkosa itu, bukan hanya telah memperkosa “tahanannya” namun mereka juga telah memperkosa “syariat” yang suci. Semoga saja tidak ada lagi “Pemerkosaan” lainnya, seperti halnya yang dialami oleh “sidara” Langsa, yang harus menanggung derita sepanjang hidupnya. Wallahu’alambhisshawab.