Nek Aisyah mungkin tidak pernah bermimpi dalam hidupnya, jika fotonya bersama seorang Gubernur Aceh saat ini terpampang dalam baliho besar di jalan protokol [Jl.Daud Bereueh], Banda Aceh, tepatnya di depan kantor Gubernur Aceh. Kita tidak tahu pasti apa sebenarnya maksud dari pemajangan foto itu, disaat kepemimpinan Irwandi sedang dikritik karena dianggap tidak ada perubahan dalam pembangunan di Aceh. Namun, foto nek Aisyah bersama Irwandi dan Istrinya itu mungkin sangat menarik perhatian masyarakat kota Banda Aceh, dibandingkan dengan foto artis Teuku Wisnu, pemeran utama Cinta Fitri di persimpangan Jam Taman Sari. Nek Aisyah saat ini seakan telah menjadi sebuah icon betapa merakyatnya seorang Irwandi Yusuf sebagai seorang pemimpin[?].
Kisah itu, bermula diakhir September 2007, saat Irwandi dan Istrinya serta seorang jurnalis ingin melihat kehidupan rakyatnya dengan menyamar sebagai seorang musafir dan minta sesuap nasi untuk sahuran di bulan puasa. Meski awalnya Nek Aisyah menolak, tapi akhirnya mereka diizinkan untuk masuk dan sahuran bersama. Penyamaran ini terbongkar ketika salah satu keponakan nek Aisyah, yaitu Dahlan mengenal bahwa tamu misterius dipagi buta itu adalah seorang Irwandi Yusuf, yang tidak lain adalah seorang Gubernur Aceh. Diakhir penyamaran itu, saat pamitan sang Gubernur memberitakan “Amplop” kepada Nek Aisyah atas kebaikannya disubuh itu.
Kisah ini, terkadang mengingatkan penulis pada sebuah drama realita “minta tolong” pada salah satu televisi swasta, dimana pada akhirnya orang yang mau menolong itu akan diberikan “amplop” oleh tim misterius tersebut. Biasanya yang punya “ketulusan menolong” itu adalah orang-orang yang juga sama menderitanya dengan yang “pura-pura” meminta tolong.
Kisah Umar Ibn Khattab
Sedikit berbeda dengan kisah Irwandi atau tim “minta tolong” dalam drama realita RCTI. Khalifah Umar RA, juga sering melakukan gerilya ditengah malam ke pelosok-pelosok kampung untuk mengetahui keadaan rakyatnya. Suatu malam beliau mendengar suara tangisan anak kecil yang sangat memilukan. Ketika khalifah Umar ibn Khattab mendekati gubuk tersebut beliau mendapati ada seorang ibu janda yang sedang merebus sesuatu di dalam sebuah tungku, sedangkan disisinya terbaring seorang anak kecil yang menangis tersedu-sedu karena kelaparan.
Khalifah Umar ibn Khattab menanyakan kepada si ibu perihal anaknya yang terus menangis tersebut, lalu si ibu menjawab bahwa si anak menangis karena kelaparan, sedangkan si ibu sengaja merebus batu untuk menenangkan hati anaknya. Lalu sang ibu berucap bahwa seharusnya amirul mukminin Umar memperhatikan nasib rakyatnya.
Setelah mendengar ucapan tersebut, Saidina Umar terenyuh hatinya karena ada rakyatnya yang masih kelaparan dikarenakan oleh kelalaiannya dalam memimpin. Singkat cerita, khalifah Umar kembali ke rumahnya dan mengambil gandum serta makanan yang lain dari baitul maal, kemudian memikulnya sendiri ke rumah si ibu tadi. Pembantu beliau Aslam meminta supaya dia saja yang membawa barang-barang tersebut, tetapi khalifah Umar bersikeras bahwa beliau akan membawanya sendiri seraya berkata, “apakah engkau sanggup memikul bebanku di hari akhir nanti?” Sesampainya di gubuk tadi, khalifah Umar langsung menyerahkan semua barang yang beliau bawa ke si ibu paruh baya tersebut.
Dalam kisah tersebut, Umar RA tidak pernah meminta sesuatupun dari si Ibu, karena memang ia tidak mempunyai apapun, dan Umar RA juga tidak memberikan ‘amplop” kepada keluarga malang itu, kerena mungkin amplop belum ada ketika itu [?]. Tapi Umar menyadari betul bahwa ia harus segera memenuhi kebutuhan rakyatnya dengan memikul kebutuhan rakyatnya itu di atas bahunya sendiri.
Kebutuhan Rakyat
Nek Aisyah memang tidak harus merebus batu untuk melalaikan keponakannya, karena memang ia masih punya ikan asin, dan beberapa potong sie ruboh yang disimpannya untuk beberapa hari puasa ke depan. Namun kehidupan nek Aisyah sebagai bagian dari potret rakyat Aceh yang baru pulih dari konflik dan bencana Tsunami, yang masih banyak hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka mungkin tidak meminta mobil X-Trail dari dana pembangunan Aceh 2009 yang kabarnya mencapai 9.7 Triliun, tapi yang mereka butuhkan hanyalah sebuah kehidupan yang layak. Meskipun sebuah kelayakan itu sangatlah relative, tapi minimal tidak ada lagi kata-kata bahwa orang miskin dilarang sakit. Rumah sakit harus secara adil tersenyum baik kepada mereka yang kaya atau yang “dimiskinkan”.
Rakyat juga butuh pendidikan yang murah atau seharusnya gratis. Pendidikan yang gratis tidak hanya sampai SD tapi juga sampai PT. Karena ijazah SD saat ini tidak lagi laku untuk melamar sebuah pekerjaan. Bagaimana mendapatkan pekerjaan yang layak jika kesempatan untuk belajar menjadi mahal. Bagaimana mencerdaskan bangsa jika setiap tahun biaya SPP terus naik. Jika rakyat bodoh, maka sebuah pekerjaan yang layak sangat sulit didapat, akibatnya jika pekerjaan sulit didapat maka kemiskinan juga sulit dihilangkan. Meskipun kabarnya alokasi dana dari APBA mencapai 30 persen dari total dana tersebut untuk sector pendidikan. Tapi kenyataannya pendidikan di Aceh tidak ada perubahan yang signifikan. Bahkan tahun lalu kabarnya ada sekolah yang hampir 100 persen siswanya tidak lulus ujian nasional. Ironisnya lagi ada beberapa tanah masyarakat miskin “dikuasai” oleh lembaga-lembaga pendidikan tanpa adanya pembebasan yang layak. Sehingga mereka harus memblokir sekolah-sekolah itu. Sekali lagi rakyat bertanya, kemana dana pendidikan itu?.
Stigma kemiskinan, biasanya juga selalu dikaitkan dengan masyarakat petani dan nelayan. Para petani dan nelayan di negeri ini jarang menjadi kaya, Kenapa?itulah pertanyaan selanjutnya. Apakah mereka malas dan tidak mau bekerja, sehingga menjadi miskin?. Rasanya tidak ada petani dan nelayan yang malas dalam pekerjaannya. Tapi kenapa di Inggris dan Amerika misalnya, para petani atau nelayan itu adalah mereka orang-orang berkecukupan, kalau tidak dikatakan kaya?. Inilah yang selalu menjadi pertanyaan yang tidak pernah diselesaikan oleh era pemimpin manapun di negeri ini.
Jawaban itu biasanya dijawab sendiri oleh para petani dan nelayan, “tulak tong tinggai tem”. Itulah yang terjadi dari masa ke masa. Karena biaya operasional lebih besar dari yang dihasilkan. Dan pemerintah juga tidak mampu memberikan harga pupuk yang wajar atau membiarkan tanah-tanah yang kering tanpa ada pengairan. Begitu juga disaat panen, petani tidak punya “kemampuan” untuk menentukan harga dari produk yang mereka hasilkan. Meskipun mereka punya barang tapi harga “toke medan” yang menentukan. Sehingga, dari tahun ke tahun kehidupan rakyat tidak akan pernah berubah dalam kemiskinannya.
Disinilah, rakyat berharap, dibawah kepemimpinan seorang Drh.Irwandi Yusuf,MSc, yang telah lama hidup bersama rakyat “pinggiran” dan mempunyai pengalaman di negeri Paman Sam, dapat mewujudkan sebuah perubahan menuju kearah yang lebih makmur dan sejahtera. Rasanya, inilah yang harus dipikul oleh sang penguasa kepada rakyatnya, bukan hanya sekedar memberikan amplop belaka atau dengan demo massa, karena itu tidak akan merubah nasib mereka. Tapi melalui program yang nyatalah yang akan merubah kearah yang lebih baik.
Diakhir tulisan ini, penulis ingin mengisahkan keteladanan seorang Khalifah Umar Ibn Aziz, Konon semasa ia menjabat sebagai Khalifah, walaupun hanya 2,5 tahun tak satu pun mahluk dinegerinya menderita kelaparan. Tak ada serigala mencuri ternak penduduk kota, tak ada pengemis di sudut-sudut kota, tak ada penerima zakat karena setiap orang mampu membayar zakat. Lebih mengagumkan lagi, penjara tak ada penghuninya. Sejak di angkat menjadi Khalifah Umar bertekad, dalam hatinya ia berjanji tidak akan mengecewakan amanah yang di embannya. Akhirnya dia berhasil mengelola negara dan memanifestasikan hadits Nabi SAW, “Seorang imam (khalifah) adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat), dan dia akan diminta pertanggungjawabannya terhadap rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Wallahu’alam.