Oleh: Chairul Fahmi

Semilir angin menerpa celah-celah dedaunan pohon membuat sinar mentari menebus hingga sore itu masih terasa panas. Namun terasa buluku merinding
ketika setapak demi setapak kutelusuri perkampungan yang nampak sepi itu. Sudah sepuluh tahun aku tak menginjakkan kaki dijalan yang dulunya sangat kuhafal itu. Sekarang suasananya sudah berubah, ya sepuluh tahun yang lalu—namun ketika itu jalan setapak yang setiap hari dilantasi orang-orang desa menimbulkan kenangan sangat indah. Hutan kecil yang mengerumuni sisi jalan kiri-kanan jalan, dulunya merupakan pesona khusus ketika aku bersama kawan-kawan sedesa bermain perang-perangan dan bersembunyi dibalik hutan untuk saling mengintai.

Sekarang suasananya menjadi sepi dan terasa mencekam. Lorong-lorong yang ditumbuhi rerumputan dan semak belukar, anak-anak kampung tidak terlihat satupun. Begitu juga dengan anak muda yang biasanya duduk senja di pos jaga dari melepas lelah dari seharian kerja tak terlihat, bahkan binatang ternak yang biasanya membuat kubangan di dekat pos jaga simpang jalan itu juga tak ada lagi. Begitu lengang. Sawah-sawah sepanjang jalan tampak kering kerontang kecuali hanya ilalang-ilalang yang sudah mengering.

Hatiku semakin bertanya –tanya ketika kutatap satu persatu rumah-rumah penduduk yang tertutup, pintu terkunci dan halaman rumah penuh dengan serakan sampah, malah sudah ada yang ditumbuhi rumput, “kemana mereka seisi kampung ini,” gumamku dalam hati.

Tanda Tanya itu tak bias terjawab karena satu pun kulihat orang didesa ini dan aku tiba-tiba sangat kanget ketika menoleh kesebuah rumah tua yang tak jauh dari tempatku, tampak terduduk seorang gadis kecil, ia menangis terisak-isak. Kucoba menghampirinya dengan hati sedikit was-was. “jangan-jangan, ia makhlus halus”. Namun aku nekat untuk menghampirinya juga.

Sore terus merambat malam, dan aku seketika gemetar dan rasanya seperti tak percaya dalam suasana itu kudapati seorang gadis kecil yang sendirian, menangis dalam ketakutan. “Kenapa menangis adik, tiba-tiba ia berhenti menangis , ia menutup wajahnya dan menunduk seperti minta dikasihani. “jangan pukul ibu saya, jangan tembak ayah saya”. Ia berteriak dengan tersedu-sedu sambil menahan tangisan. Jantungnya terasa berdegup keras, aku semakin ingin tahu apa sebenarnya telah terjadi disini, akupun memeluk gadis itu dalam pelukanku..aku seakan kenal dengan gadis kecil ini..tapi sudah lama sekali..sepuluh tahun yang lalu, “apakah ini dia?”.hati kecilku bertanya

Aku melihat sekeliling dan aku amati apa yang terjadi disini, desa kelahiranku. Dan malam pun mulai menjelang saat mentari di ufuk barat perlahan meninggalkan bumi dan mataku tiba-tiba tertuju pada salah satu sudut rumahnya yang sudah terbakar, aku ingat persis rumah ini. Ya ini rumah kakak aku, tapi apa benar ya?. Aku coba mendekat dengan perlahan, keringat dingin keluar dari jidatku saat kulihat kelongsong peluru berserakan ditanah, ada bercak darah berceceran yang mulai membeku..