Aceh province, salah satu provinsi yang mempunyai kewenangan khusus dalam penerapan Syari'at Islam dalam semua aspek (kaffah), hal ini berdasarkan UU No.44 Tahun 1999 tentang keistimewaan Aceh. yang kemudian proses pelaksanaanya akan diatur dalam qanun (peraturan pemerintah).


Secara legalitas dan yuridis, penerapan Syari'at Islam sejauh ini didasarkan pada 4 Qanun, yaitu: Qanun No.11 Tahun 2002 Tentang Syiar yang mencakup tentang tata busana Islam, Qanun No.12, 13, 14 Tahun 2003 tentang khamar (alkohol), maisir (judi) dan khalwat (bersepi-sepian yang bukan muhrim). Dalam qanun tersebut juga diatur tentang lembaga yang akan mengontrol penerapan Syariat Islam yaitu lembaga Wilaytul Hisbah (Polisi Syari'at).


Mengenai Qanun No.11 Tahun 2002 tentang pakaian Islami, tidak ada aturan batasan tentang busana islami, hanya catatan mengenai pakaian yang tidak menimbulkan syahwat dan tidak ketat atau membentuk lekuk tubuh. Semua hal ini lebih identik mengatur tentang pakaian kaum wanita. Hal ini kemudian menjadi sebuah dilema di masyarakat dalam tataran praktis, dimana dalam pelaksanaannya, kaum wanita kemudian menjadi objek penertiban pelaksanaan Qanun tersebut. Sementara kaum pria yang main bola dengan memakai celena di atas lutut tak pernah tersentuh oleh WH (Wiliyatul Hisbah).


Sementara dalam Qanun 12 mengenai khamar (alkohol), yang mengatur mengenai hukum haram meminum alkohol (khamar) di wilayah syari'at (Aceh). Ada beberapa kasus yang telah ditangkap dan dihukum dengan hukuman jilid (cambuk) di depan khalayak ramai, dan kebanyakan mereka adalah masyarakat "lemah" yang kedapatan sedang minum air khamar tersebut. Ada yang ditangkap oleh masyarakat kemudian diserahkan ke WH, diteruskan ke polisi dan dituntut oleh Jaksa serta diputuskan hukuman oleh Mahkamah Syari'ah.


Sementara itu, di sebuah hotel bintang "13" yang juga di Banda Aceh, juga terdapat sebuah BAR, yang menjual air arak baik buatan dalam negeri maupun dari luar negeri, dengan bebas menjual air khamar tersebut tanpa tersentuh "hukum syari'ah". Seorang WH senior mengatakan bahwa itu wilayah yang dilindungi oleh orang-orang "kuat" di Aceh, jadi WH tidak bisa masuk ke wilayah tersebut. Sementara salah satu pakar hukum dan sosiologi dari UNSYIAH mengatakan, bahwa penerapan Syariat Islam di Aceh tidak berlaku asas teroterial, melainkan asas personalitas. Jadi kalo yang minum arak itu non-muslim, qanun tidak berlaku bagi mereka.


Persoalan lain adalah mengenai Khalwat (bersepi-sepian dengan lawan jenis ditempat sunyi dan tertutup yang bukan muhrim). Pengaturan hal-hal seperti ini merupakan suatu nilai normatif yang sangat baik untuk mencengah terjadinya zina bagi masyarakat. Namun walaupun telah diberlakukan qanun ini, perbuatan bersepi-sepian terus terjadi, baik anak-anak muda, sampai nenek-kakek. Sehingga banyak dari mereka kemudian ditangkap oleh masyarakat; ada yang dihukum adat (bayar denda?), diarak keliling kampung, disiram air comberan, ada yang cuma dinasehati bahkan juga ada yang kena cambuk setelah di putuskan pengadilan (Mahkamah Syaria'ah). Kebanyakan mereka adalah juga masyarakat yang tidak punya "modal dan power".


Sementara itu, ada yang berpower dan punya modal, juga ditangkap oleh warga atau lembaga yang berwenang karena kedapatan berkhalwat, tapi perlahan isu dan penyelesaian kasus mereka hilang bagai diterpa angin. Dulu ada seorang Hakim di Kota Sabang di tangkap disebuah wisma bersama seorang wanita yang bukan muhrimnya, kasusnya hilang tak tersentuh hukum. di Banda Aceh, Mantan Pejabat teras Province, juga diduga telah berhubungan "khusus" dengan pembantunya, Kasusnya juga hilang secara perlahan. Sehingga berbagai asumsi berkembang di masyarakat bahwa penengakan Syari'at Islam di Aceh tidak dapat menyentuh orang-orang ber'power". Teori hukum tajam hanya ke bawah.


Perlu Pembenahan
Melihat fenomena seperti ini, perlu dilakukan sebuah pembenahan dan komitmen seorang pemimpin yang concern (political will) terhadap pelaksanaan syariat Islam. Pembenahan terhadap legal qanun disatu sisi, dan pembenahan penegak hukum itu sendiri disisi lainnya.


Pembenahan terhadap yuridis yang diperlukan adalah penyempurnaan qanun-qanun Jinayat, seperti qanun tentang zina, pencurian, pembunuhan, and segala yang menyangkut kriminal lainnya. disamping juga diperlukan adanya sebuah UU / Hukum Acara dalam perkara jinayat Islam yang disahkan secara formal.


Pembenahan lainnya adalah lembaga penegak hukum. Selama ini WH hanya sebagai lembaga yang mengontrol, mengawasi tanpa ada wewenang untuk menyidik, dan atau menyelidik, maka dibutuhkan upaya untuk meningkatkan peran dan wewenang dari lembaga WH ini, idealnya lembaga WH menjadi sebuah lembaga independen sebagai lembaga penyidik dan penyelidik dalam penegakan hukum Syari'at Islam di Aceh. Namun ini menjadi sebuah tantangan bagi Aceh sebagai bagian dari negara Indonesia yang menerapkan sistem hukum "sekuler".